Senin, 16 Mei 2016

Kabut

Kabut


Putih? Atau kuning?... entahlah, cahaya itu terlalu terang menusuk mata. Berdirikah? Tertidurkah ?, saya berusaha memejamkan mata, tapi tidak bisa. Ujung jari ini pun tidak bisa bergerak. Tangan? Kaki? Kalian kemana? Saya ada dimana?.
Samar, bentangan kain berkibar di kejauhan, pink? atau oranye? Saya tidak bisa membedakannya. Tidak… itu kain merah, mataku mulai bisa melihat dengan jelas. Dia berdiri di sana, seseorang dengan jubah berwarna merah. dia menoleh, bulu matanya terlihat lentik, wajahnya tertutup kain.
“Hei,” Saya berusaha memanggil tapi tidak bisa bersuara. Dia membalikkan badan, lalu berlari menjauh.
“Tunggu !!,” suara Saya hilang.
Saya mengejarnya tapi kaki ini seperti tidak bisa berpijak. Apakah… Apakah Saya mati??.

***

“Kal… Kaaal…,” cahaya remang dikegelapan, seseorang memanggil. Ibu?.
Semuanya masih terlihat buram, udara dingin mendarat di pipi.
“Dokter!!.. Haik… su…,” ngiiiiinnngggg, “…ngun, Dokter!!” ngiiiiinnngggg ...
Udara hangat berlarian dari ujung kaki menjalar hingga ke kepala, badan terasa begitu berat. Ngiiiiinnngggg… suara itu terus berputar-putar di kepalaku.
“Kau baik-baik saja kan, nak?,” lelaki itu membuka alat yang menutupi kepala Saya, sekarang  Saya bisa melihat lebih jelas.
Lelaki itu dihadapan Saya, jari tangan kirinya membuka kelopak mata Saya, sementara tangan kanannya memegang benda menyala terang tepat di depan mata Saya, dia gerakkan dari kiri ke kanan, silau.
“Bagaimana keadaan temanku?? Dia baik-baik saja kan, Dok ??” anak itu memegang tangan kanan Saya, bibirnya tersenyum tapi ada seperti air di matanya, rambutnya ikal kecoklatan, dia seperti Kevin, tidak… dia memang Kevin.
“Tenang dulu, Vin,” lelaki itu melepaskan pegangan tangannya dari mata Saya, “Kamu ingat nama kamu siapa, nak?” lelaki itu tersenyum, Tangan kevin semakin erat memegang tangan Saya .
“Sayaa… Saya Haikal…,” Saya berusaha bangkit dari tidur tapi badan ini sangat berat,” Saya ada dimana ini, Dok??.”
“Tenang, Haikal. Tiduran dulu saja, jangan terburu-buru,” lelaki itu menghentikan usahaku, kini Saya terbaring lagi, dia atur posisi kasur yang Saya pakai jadi sedikit lebih berdiri sehingga terasa lebih nyaman. Saya periksa sekeliling, ruangan ini seperti ratusan tahun tidak pernah dibersihkan entah rongsokan macam apa yang berderet diatas meja di sebelah kanan Saya, mesin-mesin tua dengan lampu warna hijau. Sementara disebelah kiri Saya pun tidak kalah berantakan, poster tumpang tindih terpasang di tembok.
“Kamu sekarang sedang ada di tempat yang aman, di Abensord,” lelaki itu tersenyum ramah, “istirahatlah, mudah-mudahan besok Kamu baikan.” Dia berdiri dari duduknya, “Ayo, Kevin. Masih banyak yang harus kita kerjakan.”
“Istirahatlah, Haikal. Besok pagi Aku akan menengokmu lagi,” Kevin menyelundupkan sesuatu ke tangan kanan Saya, kertas?, uang kah?. Dia merapikan selimut yang Saya gunakan, “Tidurlah….”
Kevin mendatangi Sang Dokter yang telah menunggunya di depan pintu, seseorang bertubuh besar berdiri bersamanya. Sebuah lambang yang digambar dari cat semprot tampak jelas disamping pintu, dua buah huruf S kembar dalam sebuah lingkaran. Tempat macam apa ini sebenarnya?.
“Jadi bagaimana keadaan temanku, Dok?.”
“Aku tidak bisa memastikannya, Vin.”
“Ko bisa gitu?!!”.
“Dengar Vin, meskipun orang-orang di sini memanggilku Dokter, Aku sama sekali bukan lulusan kedokteran… .”
“….“
“Kalau Kamu ingin tau keadaan temanmu itu, Kamu harus membawanya ke Pusat Kota… Ke Capital… Lalu nanti Kamu ikut dengan teman-temanku.. iya teman-temanku yang mati disana, Kamu ikut mati bersama mereka.”
“….”
“Sekarang lebih baik Kita lanjutkan pekerjaan kita dulu, biar nanti masalah temanmu itu Aku yang urus, Okay?.”
“....” Kevin hanya Dian tertunduk.
“Teman mu itu beruntung…, dia bisa bertahan setelah koma selama 2 bulan.., itu kasus yang langka… Aku tidak bis…,” Kevin dan Dokter beserta lelaki bertubuh besar itu pergi meninggalkanku, pintu kamar dia tutup.
Saya tarik selimut tebal untuk menutupi seluruh badan Saya, dingin. Saya keluarkan kertas yang ada di genggaman, gulungan kertas itu Saya buka, tulisan tangan Kevin…
Di dunia ini kita berbeda…
***
Jam berapa ini? Cahaya menusuk mata lagi-lagi membuat Saya terbangun, Hari sudah siang rupanya. Seluruh ruangan kosong tanpa seorang pun disana kecuali Saya, aroma karat dan busuk kembali tercium. Saya coba gerakan lagi badan ini, sekarang terasa lebih ringan, Saya sudah sehat. Saya buka selimut tebal yang menghangatkan tubuh ini tadi malam, kaki Saya melangkah diantara potongan-potongan bagian mesin-mesin aneh dan kabel warna-warni yang asing di ingatan. Saya pun tersadar, piyama siapa yang sedang Saya pakai?. Saya tarik tuas pintu, udara berhembus menyapa kulit, hangat. Disini Saya berdiri di atas lautan sampah, tempat apa ini?.
“Kau sudah bangun yaa, Kal!” Kevin berteriak dari sebuah kendaran besar sepertinya sebuah truk pengangkut sampah, tingginya sekitar 3 meter dengan 8 pasang ban besar berhenti beberapa puluh meter dihadapan Saya. Sejak kapan dia bisa mengendarai mobil?.
“Sudah mendingan yaa,” suaranya serak, Dia membuka pintunya lalu turun melalui tangga besi yang ada di samping kendaraan itu, kemudian berlari ke arah Saya, dia mengenakan pakaian montir berwarna kuning pudar belepotan penuh kotoran. Kepala Saya berisi begitu banyak kebingungan, Saya hanya bisa diam.
“Kamu tidak akan percaya… Kamu tidak akan percaya…,” Kevin tersenyum kecil, tangannya menepuk-nepuk pundak Saya, dia terengah-engah.
“Percaya apa?”
Brrrrrmmmmm….
“Hoiiii, Kevin !!!,” seseorang berteriak di kejauhan,”Abensord sudah menunggu!!” Lelaki itu menaiki sebuah kendaraan seperti pickup bermahkotakan 6 lampu besar di bagian atasnya, 2 bilah besi melingkar mengelilingi kendaraan itu.
“Boleh ajak temanku tidak??!!” kevin balik berteriak, lelaki itu seperti berdiskusi dengan temannya yang berada di kursi kemudi.
“Okay boleh!!, tapi suruh dia ganti baju!!, nanti dikira orang gila!! Hahahaha,” sial dia membicarakan Saya.
“Okay!! Tunggu,” Kevin tersenyum, entah apa yang membuat dia begitu bahagia,”Ayo ikut aku, Kal,” dia berlari ke arah belakang rumah kecil yang Saya gunakan beristirahat tadi malam, dia membuka sebuah pintu yang ada disana, puluhan potongan besi rongsokan tergantung di tembok, orang-oramg itu sepertinya sengaja mengumpulkan rongsokan.
“Kamu pakai ini aja, Kal,” kevin membuka koper coklat penuh debu.
“Kamu yakin, Vin??” pakaian itu seperti tidak layak pakai.
“Sudahlah, jangan mengeluh… ini keren ko!” Kevin mengibaskan jaket kulit yang ada di dalam koper, debu beterbangan, “Ayo cepat! Aku tunggu dibawah,” dia berlalu meninggalkan Saya.
Pakaian macam apa ini, tapi Saya tidak punya pilihan. Kaos kedodoran warna hitam, celana pendek abu-abu, lalu celana jeans panjang yang dipenuhi pernak-pernik besi disekelilingnya, gila! Pakaian macam apa ini. Sepasang sarung tangan coklat dan sepasang sepatu kulit coklat tua semuanya pas dengan ukuran Saya, sepertinya kevin sedah merencanakan semuanya. Dan tentu saja tak lupa jaket kulit hitam penuh debu tadi, bau tanah dimana-mana, mual. Saya tidak punya pilihan lain selain kenalan pakaian ini, lalu segera menemukan Kevin.
 “Nah kan, keren… Hayu cepet, Kal!!,” Kevin sudah berada di atas kendaraan pickup itu, Saya berlari menuruni tumpukan sampah lalu memanjat kendaran itu kemudian duduk di bak belakang bersama Kevin. Hari ini badan Saya terasa ringan, Kevin tersenyum, mencurigakan.
“Pakai ini,” Kevin memberikan sebuah tali pada Saya,”ikat di tanganmu,”Aku hanya bisa menuruti perkataanya,”Nanti kau akan tau apa fungsi benda itu,” Kevin terseyum lagi,”Oiya, pakai jubah ini, tutupi badanmu.”
Angin bertiup kencang menerbangkan debu yang menyatu dengan bau busuk dan karat pekat, puluhan benda terbang berkeliaran dengan tali panjang seperti tangan mengais-ngais keberuntungan di tumpukan rongsokan besi sejauh mata memandang. Abensord, tempat macam apa sebenarnya, Saya harus bertanya kepada Kevin.
“Distric-25… Hanya rongsokan yang tampak di tempat ini, tapi nanti kau akan melihat sisi lain dari Abensord… Tunggu saja, Haikal!,” Kevin seperti bisa membaca pikiran, aneh.
“Sebenarnya kita mau kemana, Vin?” jalan rusak berbatu yang dilalui kendaraan ini membuat badan Saya bergoyang.
“Distric-24, nanti kau akan lihat keajaiban, Kal!” mata Kevin berbinar-binar,”semakin kau berjalan ke pusat Abensord maka semakin banyak keajaiban yang akan kau lihat,” Kevin bersemangat,”Distric Zero, Aku janji kita akan kesana, Kal.”
“Rumah… rumah Saya dimana, Vin?... Saya ingin pulang!!,” tiba-tiba saja Saya teringat Ibu dan Melisa. Kevin terdiam, dan menutupi wajahnya dengan kerudung dari jubah yang digunakannya.
“Pakai sabuk pengamanmu, Kal” Kevin menarik tali dari sisi bak, lalu mengikatkan empat buah sabuk ke badannya, Saya mengikutinya. Kevin tampak lesu, harusnya Saya tidak menanyakan rumah.
Mobil melaju kencang, di sebelah Barat Saya melihat deretan tembok membentang membelah daratan hingga jauh ke ujung Utara, awan hitam bergerombol perlahan menutupi langit, kilatan petir berkejaran menghadapinya angkasa. Apa yang akan terjadi di depan sana?.



Lampu redup, kamar sempit

Bandung, 14 Mei 2016

Kamis, 28 April 2016

[REVIEW] Captain America: Civil War (2016)






Political interference in the Avengers' activities causes a rift between former allies Captain America and Iron Man.

Directors : Anthony Russo, Joe Russo
Writers : Christopher Markus (screenplay), Stephen McFeely (screenplay) | 3 more credits »
Stars : Chris Evans, Robert Downey Jr., Scarlett Johansson | etc

SPOILER MAY EXIST
DO WITH YOUR OWN RISK

Vampir. Film yang sudah ditunggu-tunggu dari beberapa bulan kamaren akhirnya tayang juga nh, di Indonesia kita bisa menyaksikannya lebih awal pada tanggal 27 April. Yup!!, Saya nonton premier nih dengan Si Hanang n Si Bagus dan juga teman2 T-T Dan. Pertama kali nonton premier nh hehe.

Tenang, untuk review kali ini Saya tidak akan banyak2 ngasih spoiler ko, santei.

Rabu, 27 April 2016

Tidak Boleh Keluar Rumah





"Harusnya kamu itu banyak-banyak menghafal, kamu kan sudah masuk SMP, bukan anak SD lagi, kurangi maen-maennya!!."

"Ini bukan cuman maen ko,Mbaaa..."

“Ga ada alasan, Pokoknya ga boleh main di luar !!. TITIK.”

“Ayolah Mbaa….”

“Kamu kan sedang dihukum … Ingat??!!.”

“Sebentar saja kok….”

“Heh!! Siapa suruh mecahin vas kesayangan Mba!!. Rasain !!

“Ayolah …. Bentaaarrr saja.”

“Ga!!!.”

Orang bilang Ibu tiri itu jahat, menyeramkan seperti iblis yang suka makan daging manusia. Iya … Kevin menyetujui hal itu, sangat setuju.

“Ah Kal, sorry yaa… kita ga bisa main di lapangan nih, biasaaa nenek sihir bikin ulah,” Kevin menyuguhi Saya segelas air putih, kami duduk di ruang tamu.

“Ga apa-apa ko Vin, besok juga bisa,” jawabku sambil meneguk air yang sudah dihidangkan untuk Saya, haus.

“Pokoknya, kamu jangan main ke luar rumah, Si Bibi ga masuk kerja hari ini,” Mba Nadin merapikan rambutnya.

Minggu, 17 April 2016

Bergoyang



“Iman lama banget yaa, Wii…”
Itulah pernyataan Nisa setelah 10 menit menunggu Iman di pinggir jalan tepat di samping Gang Buntu, gang masuk menuju rumahku, iya rumah Iman juga lewat situ.
“Bentar lagi paling,” Aku memandang ke atas langit.
PRAKK!!!.. PRAKK!!! PRAKKK!!! … Aku pukulkan bilah bambu yang Aku pungut dari pinggir jalan ketika habis menjemput Nisa di rumahnya, Nisa tidak akan bisa main keluar rumah tanpa Aku, kasian dia. Kasian karena tidak bisa main di luar rumah, tapi kalau sudah bisa main diluar, keadaanku juetru lebih menyedihkan dari Nisa.
“Mau Wi..?,” Nisa menyodorkan teh dalam kemasan kotak padaku.
“Makasih Nis,” Aku menolak dengan halus, malu rasanya selalu ditraktir makanan atau minuman oleh Nisa, tapi apa daya Aku kehausan, teh dalam kemasan kotak itu pun aku terima.

Kamis, 14 April 2016

Baik

Dia itu baik
Setiap hari menyambutku pulang
Setiap detik menungguku datang

Dia tidak menuntut
Tidak banyak meminta
Digantung pun sudah cukup

Dia tidak mendengar
Dia tidak merasakan apa-apa

Kau baik sekali,
Stella

Kamar yang dingin,
14 April 2016

Selasa, 12 April 2016

Surat Cinta





Kerajaan Kutai adalah kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan ini berdiri pada tahun 400 Masehi. Raja pertamanya adalah Kudungga, kemudian digantikan Aswarman. Raja terkenal dari Kutai adalah Mulawarman. Mulawarman memuja Dewa Syiwa, maka ia beragama Hindu. Peninggalan Kerajaan Kutai adalah Prasasti Kutai yang terpahat pada tiang batu yang disebut Yupa yang ditemukan pada aliran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti tersebut bercerita tentang Raja Mulawarman yang baik budi. Pada masa pemerintahannya rakyat hidup dengan sejahtera dan makmur. Prasasti ini dibuat untuk memperingati Raja Mulawarman yang telah menghadiahkan 20.000 ekor sapi pada Brahmana. Selain itu, peninggalan sejarah dari Kutai yang lain adalah arca-arca yang terbuat dari perunggu dan emas.

Hmmhhh…
Satu jam sudah Irma menulis di papan tulis, dua buah papan besar di depan kelas sudah penuh dengan tulisan, itu pun sudah beberapa kali dihapus dan diganti dengan paragraf baru,  tangannya sudah pegal berlumur debu kapur, Ibu Rita tidak ada di kelas, ada rapat dengan kepala sekolah, katanya.  Irma melepas nafas panjang, matanya melirik ke arah Reni, saatnya pergantian pemain. Reni sekarang yang menjadi pejabat sementara bagian tulis menulis materi pelajaran di papan tulis, dua paragraf sebelumnya yang sudah Irma tulis dia hapus, tangannya meliuk dengan cepat di papan tulis, irma kembali ke kursinya dengan lesu. Sementara teman-teman lain sibuk menyalin tulisan di papan ke buku tulis mereka masing-masing, termasuk Aku.

Senin, 04 April 2016

Nyawa



Angin masih saja sepoi bertiup lembut menari memainkan ujung rambutku dari jendela besar yang menghadap ke Timur disamping kanan Saya yang sengaja dibiarkan terbuka. Langit temaram tergambar, pagi yang sejuk kelabu. Sayup-sayup tedengar lagu Two Wounded Bird diputar.
“Sarapan sudah Siap, roti isi telur dan segelas susu low fat. Hari ini, 25 Maret 2099, Suhu udara diluar 15,8 Celcius, pukul 3 sore diramalkan kan terjadi hujan.”
“Lalu…?.” Saya duduk di ruang tengah rumah dengan santai.
“Anda memiliki 13 pesan dari Nona Dwi yang belum dibaca.”
“Apa katanya?,” tanya Saya yang tengah asyik mengeser-geser halaman berita hologram, meja mekanis bergeser perlahan mendekat menyajikan sarapan untuk Saya.
“Secara umum Nona Dwi mengingatkan Anda agar jangan sampai lupa untuk general check-up kesehatan Anda hari ini.”
            “Okay, tandai sudah dibaca.”
            Seluruh pesan sudah dibaca….”
            “Lalu apalagi, Daisy?,” tanya Saya sambil menikmati roti isi telur sarapan pagi yang sudah disiapkan Daisy, aroma bawang putih meretas di gigitan pertama.
            Hari ini Anda memiliki janji untuk general check-up di R.S Premier Hasan Sadikin pada pukul 10, lalu pertemuan dengan Nyonya Nisa dari Channel 8 di Gundam Café – Grand Novotel.”
             “Hapus janji dengan Nisa, lalu kirim pesan permohonan maaf Saya tidak bisa hadir… bilang saja mendadak ada yang harus Saya kerjakan di Lab,” malas rasanya harus bertemu dengan nenek tua itu, pertanyaan dari channel 8 selalu saja sama, bagaimana kadaan tubuh Anda?, membosankan, “ Oh iya Daisy, jangan lupa tulis juga permintaan untuk pengaturan ulang pertemuan,” siapa tahu besok lusa semangat bertemu dengan dia muncul.
            Baik…, agenda dihapus…, pesan berhasil dikirim.”
            Daisy adalah sebuah Personal Intelligence Assistant  (PAP) yang dikembangkan oleh Google sejak 30 tahun yang lalu, beruntung Saya bisa memiliki versi terakhirnya.
“Ada lagi, Daisy?.” tanya Saya sambil beranjak dari tempat duduk
“Saya sarankan Anda menggunakan Mantel, diluar sangat dingin, Tuan.”
“Baiklah, kalau begitu Ayo kita berangkat.” mantel tebal warna hitam segera Saya gunakan.
Pintu kaca depan rumah terbuka secara otomatis, Saya berjalan menyusuri tangga batu granit dan melangkah menuju pinggir jalan tempat dimana MiniCars Saya telah menunggu. Wikk-wikk-wikk, perlahan pintunya terbuka hanya dua kursi yang tersedia, Saya duduk dibelakang kemudi.
“Selamat siang Tuan.” Daisy sudah terhubung dengan perangkat Minicars dengan cepat.
            “Okay Daisy, ambil alih kemudi, bawa Saya ke R.S Premier Hasan Sadikin.” Saya kencangkan sabuk pengaman, kali ini Lagu Lonely day dari System of a down yang diputar.
            “Perintah segera diproses.”
            Minicars pun melaju sedang dijalanan lalu perlahan melayang dan terbang, Minicars sudah banyak berseliweran di langit Bandung-DC, mobil _semi pesawat_  listrik ramah lingkungan ini berhasil merubah wajah kota.
            Minicars memasuki jalur Flyover 005, Saya menoleh ke sebelah kanan, di ketinggian 50 meter Saya bisa melihat jelas wilayah Taman Kota, ratusan jenis bunga beraneka warna terawat dengan baik disana seolah mempertegas bahwa Bandung-DC ini adalah Kota Kembang. Saya harus menyempatkan main kesana kalau ada waktu luang.
“Kita telah sampai, Tuan,” pintu Minicars bergeser perlahan terbuka, R.S Premier Hasan Sadikin tidak terlihat berseri seperti biasanya, bangunan rumah sakit berdiri angkuh tampak pucat tidak tersinari matahari, angin dingin kembali bertiup membelai pipi Saya.
            “Selamat datang Tuan Iman,” DigiNurse tersenyum,  Saya melangkah keluar, kendali minicars segera diambil alih oleh sistem parkir Rumah Sakit, sementara Daisy secara otomatis tersambung ke Jam tangan di tangan kiri Saya. Saya berbaring di FloBed, tempat tidur khusus milik Rumah Sakit.
            FloBed melayang perlahan dan membawa Saya menuju lift, Martha Sang DigiNurse mengikuti dari belakang. Lift membawa Saya ke lantai 40, DigiNurse menanggalkan pakaian Saya satu persatu, dan menggantinya dengan pakaian pasien. Dingin, kulit DigiNurse itu dingin.
            “Selamat datang Tuan Iman…, Bagaimana… Apa hari ini sudah siap untuk Check-up?,” wanita itu tersenyum, giginya berderet rapi.
“Selalu siap, Dok.”Saya membalas senyumannya.
“Baik, sebentar yaaa.” rambut ikalnya disanggul rapi, usianya sudah 50 tahun lebih tapi masih terlihat muda, dr. Zahra namanya.
Ruangan prakteknya ini masih tidak berubah meskipun telah beratus kali Saya mengunjunginya, di sebelah kanan pintu terdapat meja besar tempat super computer beserta puluhan alat lainnya tertata rapi disana, tabung Examiner berukuran besar masih terbaring di samping meja, tipe lama telah diganti dengan Type 44B, yang paling terbaru. Tirai biru menjuntai membelah ruangan menjadi dua, entah apa yang ada dibalik tirai itu, Saya masih selalu penasaran.
FloBed mulai membawa Saya masuk kedalam tabung Examiner, pintunya tertutup, perlahan hangat mulai terasa, sayup terdengar lagu Lonely day dari System of a down lagi, Saya memejamkan mata. Cahaya warna warni menyelimuti tubuh.
* * * *
Januari 2019 Saya memutuskan keluar dari tempat kerja dan memulai usaha sendiri. Berkali gagal, empat kali bangkrut dalam kurun waktu enam tahun. Kehilangan tempat tinggal, kehilangan istri dan kehilangan tempat bersandar.
Sepuluh tahun kemudian jerih payah Saya mulai membuahkan hasil, usaha restoran Saya mulai menjamur, tidak hanya di Indonesia bahkan sampai ke Eropa dan Timur Tengah. Savety, merek dagang yang Saya usung dikenal di seluruh dunia. Semua yang tidak pernah Saya dapat akhirnya bisa Saya raih.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, 3 tahun kemudian kepala Saya mulai diserang pusing luar biasa, lalu penciuman dan penglihatan Saya mulai terganggu, aktifitas biasa sehari-hari mulai merepotkan, Saya kalut. Lalu bencana besar itu pun datang,  dokter memfonis Saya dengan penyakit kanker otak stadium 3, waktu Saya tidak banyak.
Kerajaan Saya mulai hancur, perlahan tabungan Saya habiskan untuk biaya pengobatan, hingga akhirnya perusahaan yang telah dibangun bertahun-tahun pun harus Saya jual, Saya bangkrut lagi.
“Aku bisa menolong Kamu, Man,” seorang teman menelepon Saya malam itu.
“Apa Kamu yakin, Dwi!!!,” Saya tidak percaya penyakit ini bisa disembuhkan.
“50-50… Kemungkinan keberhasilannya adalah 50-50. Percobaan ini belum pernah berhasil diujicobakan pada manusia, tapi untuk versi terbaru ini Aku yakin bisa berhasil.” Prof. Dwi Handayani Ratnasari seorang ahli genetika, teman kecil Saya.
“Tak apa,… hasilnya tidak masalah, karena pada akhirnya Saya akan mati juga,… Saya hanya ingin berusaha sembuh!!!.” Saya putus asa.
“Jepang…, datanglah ke Jepang….”
* * * *
“Bagaimana Dok, dengan hasil check-up Saya?,” dr. Zahra tampak serius meneliti hasil laporan pemeriksaan.
“Bagus…, Sepertinya hasil rekayasa genetik prof. Dwi masih bertahan ditubuh Anda, darah putih Anda dari hari kehari bekerja dengan sangat baik,” dokter zahra membuka halaman demihalaman laporan dengan seksama, “Hmmm… Saya melihat ada pengencangan di otot Triceps,” dokter membetulkan kacamatanya yang melorot.
“Akhir-akhir ini Tuan Iman memang sedang sering olah raga,” Daisy tiba-tiba ikut berbicara.
“Ahh Kamu terlalu berlebihan, Daisy.” Saya tersenyum kepada dokter Zahra.
“Maaf, Saya sudah lancang,” Daisy berkata, dokter Zahra malah ikut tersenyum dengan Saya.
“Ya… Selamat, Anda masih sehat seperti pemuda usia 25 tahun, ini sangat langka,” dr. Zahra menutup lembaran laporan pemeriksaan dan menyimpannya pada lemari file.
“Syukurlah,” Saya membuang nafas, lega rasanya, “Oiya dok…” sambung Saya.
“Hmm …?,” dokter Zahra menoleh.
“Tirai ini, Saya selalu penasaran sebenarnya apa yang ada dibalik tirai ini?.”
“Ohh.. tirai ini…, Tuan Iman sangat penasaran yaa dengan tirai ini, setiap check-up selalu saja bertanya tentang tirai,” dokter Zahra berjalan mendekati tirai, tok-tok-tok suara langkah sepatunya terdengar pelan.
SREEETTTTT… Tirai ditarik dokter Zahra.
. . . .
Kosong . . .
. . . .
Hanya sebuah pintu… Sepuluh meter dibelakang tempat Saya duduk terdapat sebuah pintu besar berwarna putih tertutup rapat.
 “Kemarilah, Tuan,” dr. Zahra berdiri disamping pintu. Saya pun beranjak dari tempat duduk lalu berjalan mendekat.
“Tunggu sebentar,” kata dr. Zahra, Saya berdiri didepan pintu dengan gemetar, jantung Saya berdetak kencang. dr. Zahra menempelkan telapak tangannya ketembok, seberkas cahaya bersinar memindai telapak tangan sang dokter.
BUFFFFF… Pintu terbuka, silau…, Saya tidak bisa melihat apa-apa.
SURPRISE !!! … Saya tersentak, beberapa orang tampak berada diruangan itu
Selamat Ulang Tahun Kami ucapkan.
            Martha membawa sebuah kue ulang tahun, ruangan ukuran enam kali enam meter itu tampak seperti sebuah kamar wanita. Dwi ada disana, ikut bernyanyi. Begitu pula Nyonya Nisa, wanita yang sedang tidak ingin Saya temui pun ada disana.
Selamat Panjang umur! Kita ‘kan doakan.
Ornamen ulang tahun dimana-mana, semuanya hanya holgram saja.
Selamat Sejahtera, sehat sentosa!!
dr. Zahra ikut bernyanyi, kami berdua melangkah maju memasuki ruangan. Aroma parfum wanita tercium jelas.
Selamat panjang umur dan bahagia!
Saya tidak tahu apakah hari ini harus bahagia atau bersedih, diluar hujan turun.
Fuuuhhhh… Saya tiup lilin dengan kencang, apinya padam seketika. Tiga buah lilin berbentuk angka berderet diatas kue… Satu… Satu… Dua.


Such a Lonely day

Bandung, 25 Maret 2016

Rabu, 30 Maret 2016

Parade Air Mata



Teduh dan sejuk, rimbun daun pohon jambu air memayungiku dari sengatan matahari. Aroma mawar terbawa angin merebak kesegala arah, tegel warna putih bersih yang dipadukan dengan tembok berwarna biru langit serasa makin membuat hawa sejuk makin ketara. Rumah ini rumah sahabatku, letaknya tidak jauh dari jalan raya, agak bising memang.
            “Dwi juga ikutan ?.”
            “Iya Bu Uban, sudah dibolehin sama Mamih ko,” jawabku padanya, Ibu Uban itu bukan nama sebenarnya, rambutnya hitam legam lurus terurai, tak berbeda dengan rambut Nisa. Yang beruban itu sebenarnya suaminya, Pak Uban nama panggilannya.
            “Cuman sampai jam 9 kan acaranya?,” Bu Uban meoleh kearah sahabatku, Nisa namanya.
            “Iya Bu…, euu… nanti kalau acaranya sudah selesai Nisa akan Saya antar pulang ke rumah ko,” Aku memberanikan diri berjanji, Nisa tertunduk.
            “Kasih ijin aja Bu, lagipula Nisa kan sudah gede, sudah kelas 5 SD, jangan terlalu dilarang-larang.” Tiba-tiba suara Pak Uban terdengar, rupanya dia sedang tiduran di sofa depan TV, gak kelihatan.
            “Ya sudah, hati-hati yaaa…,” Bu Uban menyelundupkan lembaran kertas berwarna hijau ke tangan Nisa, Pak Uban masih asyik menukar-nukar saluran TV, Nisa tersenyum, manis.
            Aku pun pamit pulang, Nisa ikut bersamaku, dia dalam tanggungjawabku hari ini. Nisa menggenggam erat tangan kananku, uang ditangannya sudah berpindah ke saku rok warna Abu yang dikenakannya, ini pertama kalinya aku melihat dia pakai baju atasan pink itu, baru sepertinya.
            “Nisa, Dwi…, jangan lupa jam 9 harus sudah pulang yaaa.”

Senin, 21 Maret 2016

Sungai Juga Teman, Mendidik Anak Menyukai Ikan dan Menjaga Sungai





Sungai memang memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, hal ini tidak terlepas dari kebutuhan makhluk hidup akan air. Sungai diibaratkan sebagai urat nadi kehidupan alam, sungai menjadi sumber kehidupan bagi aneka jenis makhluk hidup air, seperti berbagai jenis ikan, udang, kepiting, dan biota air lainnya.


Tulisan didepan area Air Mancur Teras Cikapundung Yang berarti
“ Ibu harus dihormati Bandung harus disanjung,
mari kita sayangi Cikapundung yang agung”

Sadar akan pentingnya pentingnya sungai dan biota air untuk kehidupan masyarakat, PicuPacu Creative Children Community mengadakan sebuah acara bertajuk “Sungai Juga Temanku” pada Minggu 20 Maret 2016 tadi pagi di Taman Teras Cikapundung, Babakan Siliwangi. Acara ini ditujukan untuk anak-anak Play Group, Taman Kanak-kanak, dan SD. Selama acara para peserta didampingi oleh orang tua dan guru serta Kakak Panitia.

Kamis, 17 Maret 2016

Kepada-Mu




Lalu dengan alasan apa Aku pergi
Beribu alasan kutulis kureka kupersiapkan
Citra cita hitam dan putih nyatanya lebih sering gelap dan kelabu

Lalu dengan alasan apa Aku berlari
Gemerlap ini mengikat hati mengekang diri terkunci
Fiktif, khayal semu senyum palsu

Lalu dengan alasan apa aku kembali
Kuketuk lagi pintu-Mu
Tidak ada tempat lain untukku kembali

Hanya Kepada-Mu




Malam yang dingin,
17 Maret 2016



*Story Behind the Poet

Rabu, 16 Maret 2016

Hujan





Menetes luruh ke bumi
Kau berawal dari lelehan awan
Lahir dari siklus abadi 
Tak berakhir tak berhenti


Kadang kau tulis suka
Hadirmu yang dinanti
Kadang kau tulis duka
Tergenang diam tak bergerak




Menanti Reda,
16 Maret 2016

Selasa, 15 Maret 2016

Balada Sepasang Kaki dan Roda-roda Angkutan Kota.





“Sebelumnya pernah kerja di bidang ini?.”
“Belum Pak, paling cuman bersih-bersih biasa di rumah.”
“Kalau misalkan ikut pendidikan dulu satu bulan hanya dikasih makan doang, bersedia tidak?.”
“Bersedia Pak!!.”
“Baiklah kalau begitu, kalau kamu keterima nanti Saya hubungi.”
“Terima kasih Pak.”
Aku tinggalkan ruang sempit itu, lesu rasanya, sepertinya kali ini pun Aku tidak akan diterima. Untuk seorang lulusan Aliyah yang minim kemampuan seperti Aku, mendapatkan kerja menjadi sesuatu yang teramat pelik, sementara berbagai lowongan pekerjaan justru mencari pekerja berpengalaman.
Sebenarnya keinginanku setelah lulus sekolah itu masuk kuliah, tetapi apa daya, Bapak yang hanya karyawan pabrik biasa tidak menyanggupi untuk membiayaiku kuliah. Mengikuti jejak Bapak masuk pabrik pun samasekali tidak ada dalam rencana hidupku, gak mau pokoknya gak mau!!. Akibatnya, 2 tahun sudah Aku menganggur. Ahh pekerjaan apapun akan Aku terima asalkan halal.
Tiba-tiba langkahku terhenti tepat di depan masjid Daarrut Tauhiid, jam di tembok luar menunjukkan pukul 10, Aku harus bergegas menuju tempat cetak foto untuk mengambil pesanan cetak fotoku tadi siang harusnya sekarang sudah selesai.

LEMPAR !!!





“Ayolaaah… Masa gitu doang nggak bisa?, yang kenceng dong….”

            “Berisik kau, Du!!.”

FFUUUUHHHHHH… Serpihan genteng pun terbang dilempar Iman.

PRAANNGGG… Meleset.

“Hahaha, nggak kena!,” Dudu joged kegirangan.

“Arggh… ,” Iman tampak kesal, kami ikut-ikutan.

Kami sedang memasuki ronde 5, pilar pendek yang tersusun dari potongan genteng masih berdiri tegak, kami harus meruntuhkannya agar ronde 5 ini dimulai. Dudu jadi ‘kucing’ yang jaga sedangkan kami berenam yang akan bersembunyi. Halaman rumah Reni cukup luas biasanya dipakai untuk garasi mobil colt bak terbuka milik Ayahnya, kami terkadang bermain disini, biasanya 15 orang lebih ikut bermain, kali ini sepi Reni tidak ada di rumah.

Senin, 14 Maret 2016

Autumn Leaves





Pagi-pagi sudah di studio, langsung menyalakan komputer masuk ke halaman Facebook, lalu Saya disuguhi sebuah video yang luar biasa di share oleh Mas Io.

Video itu memperlihatkan sekumpulan pengamen di daerah Piazza del Duomo - Florence Italy, mereka didatangi oleh seorang _sepertinya_ pelajar Asia. Kemudian mereka mulai melakukan Jam Session membawakan sebuah lagu Autumn Leaves.
Jeiman

Setelah melakukan riset singkat ternyata Autumn Leaves ini  awalnya merupakan lagu Italia pada tahun 1945 yang berjudul  "Les feuilles mortes" (artinya "The Dead Leaves"), musik nya ditulis oleh komposer berdarah Hungarian-French Joseph Kosma dan lirik oleh penulis puisi Jacques Prévert. Judul Hunggaria-nya adalah "Hulló levelek" (Falling Leaves). Yves Montand (bersama Irène Joachim) Memperkenalkan "Les feuilles mortes" dalam film Les Portes de la nuit (1946).

Sabtu, 12 Maret 2016

Keluargaku




Ketika membaca judul diatas hal yang terlintas di pikiran Saya adalah sebuah pertanyaan, Apa sebenarnya keluarga itu?. Setelah Saya coba membaca artikel di wikipedia, Saya bisa menyimpulkan bahwa keluarga itu adalah suatu unit kecil dalam masyarakat yang terhubung dan saling membutuhkan, mereka hidup dibawah satu atap. Hubungan tersebut bisa berupa hubungan darah, pernikahan, dan pengangkatan, mereka berinteraksi satu sama lain.
Lalu bagaimana dengan keluargaku?, Saya sebagai pemeran utama dalam tulisan ini akan mencoba menceritakan keluarga Saya dan segala keunikannya kepada kalian, bersiap-siaplah.

Jumat, 11 Maret 2016

Sangkuriang dan Penaklukan Jawa Barat*





Bocah kecil dekil di pinggir jalan­­, Ayahnya entah dimana Bunda telah tiada, hidup sebatangkara tanpa sanak saudara, Sangkuriang namanya. Enam bulan yang lalu dia masih duduk di kelas 5 SD, dulu. Hari ini terminal Leuwi Panjang yang menjadi tempatnya mencari ilmu, pinggiran toko kamar tidurnya, dan angkutan kota tempat dia mencari nafkah.

Lihatlah negeri kita ...
Yang subur dan kaya raya ...
Sawah ladang terhampar luas ...
Samudera biru ...

Lagu Negri Ngeri karya group band Marjinal sudah sangat dihafalnya, sepasang tangan kecilnya menjadi instrumen pengiring, suara serak seadanya modal utama meraih sesuap nasi.

Words by Je




Mamah Jeiman



" Terkadang hal sederhana justru sangat bermakna,
seperti senyuman Ibu"

Bandung, 11 Maret 2016

Selasa, 08 Maret 2016

Meningkatkan Minat Membaca Pada Remaja

            Membaca dan menulis merupakan dua aktifitas berbeda namun sulit untuk dipisahkan. Membaca adalah kegiatan meresepsi, menganalisa, dan menginterpretasi yang dilakukan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis dalam media tulisan. Sementara menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Jadi bisa disimpulkan bahwa membaca merupakan proses menyerap ilmu dari sebuah rulisan sementara menulis merupakan proses menumpahkan pemahaman kepada bentuk tulisan agar bisa dipelajari atau dipahami oleh orang lain.

            Banyak yang mengatakan bahwa minat membaca dan menulis masyarakat indonesia sangatlah kurang. Menurut kepala Badai bahasa Privinsi Jawa Barat Bapak Drs. Muh. Abdul Khak, M.Hum menegaskan bahwa hal ini tidak sepenuhnya benar, melalui wawancara telepon beliau mengatakan,"Kalau dikatakan minat membaca menurun mungkin yang menurun itu dalam konteks yang berbeda,maksudnya begini bacaan yang mana yang menurun itu?, tapi kalau untuk bacaan-bacaan yang bersifat hiburan menurut pengamatan Saya tidak menurun, tapi mungkin bacaan-bacaan yang sifatnya serius, yang bersifat keilmuan mungkin itu yang tidak terlalu menggembirakan." Hal ini berkaitan dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri, kalau dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi dengan hadirnya internet dan media sosial dimana berbagai macam artikel bisa diakses dengan cepat maka masyarakat lebih memilih internet untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka, "kalau yang dimaksud minat membaca itu membaca buku apalagi bukunya itu buku serius yaa mungkin memang menurun, tapi kalau membaca secara umum, setiap oarang  kalau di bandara dimana-mana pun selalu membaca, di tempat-tempat umum orang-orang selalu memegang hape, memegang hape itu membaca juga, walaupun bukan membaca dalam konteks bacaan portal berita tapi tetap orang-orang itu membaca."


Senin, 07 Maret 2016

Fairytale - Alexandr Rybak.





Vampir. Seperti biasa, dari sebuah ketidaksengajaan ketika Saya membuka laman youtube, tiba-tiba saja saya tersesat dan bertemu dengan Lagu ini Fairytale – Alexandr Rybak. Mari kita mulai Review by Je kali ini.
Alexander Rybak



Alexander Igorevich Rybak (Rusia: Александр Игоревич Рыбак, tr Aleksandr Igorevich Rybak.) Atau di Belarusia Alyaxandr Igaravich Rybak (Belarusia:. Аляксандр Ігаравіч Рыбак, tr Alyaksandr Iharavich Rybak; lahir 13 Mei 1986 di Byelorusia SSR, Uni Soviet) adalah seorang penyanyi dan komposer berdarah Belarusian- Norwegia, dia juga seorang pemain biola, pianis, penulis, aktor dan presenter / host *banyak banget yaa keahliannya,, bikin ngiri. Mewakili Norwegia di 2009 Eurovision Song Contest di Moskow, Rusia, Rybak memenangkan kontes dengan 387 poin dengan lagunya yang berjudul "Fairytale", sebuah lagu yang ia tulis dan compose sendiri, perhitungan ini merupakan nilai tertinggi yang pernah dicapai dalam sejarah Eurovision. Album debutnya, Fairytale, masuk cart musik di 20 di sembilan negara top Eropa, termasuk posisi No 1 di Norwegia dan Rusia *Saya sendiri belum bagaimana sistem pengitungan suara untuk acara Eurovision ini.

Selasa, 01 Maret 2016

Bulat Sempurna

­
TTTTTEEEEEEEEEETTTTTTTTTT...
TTTEEEEEEEEEETTTTTTTT...
TTTTTTTTTTEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT...

Nada sumbang terdengar di seantero Sekolah Dasar BHAKTIWINAYA 2, nada tak merdu yang selalu dinanti dan kadang dibenci. Pintu-pintu mulai terbuka, bocah-bocah berlarian kesegala arah, langit tampak ceria menyertai mereka bermain di Lapangan. Sedangkan Aku, Aku sudah sejak sepuluh menit yang lalu keluar kelas, Bu Rita menghadiahkan kepada kami jam istirahat lebih cepat.

Ga ada Dwi, ga ketemu, mungkin ga datang lagi ...”, lapor anak laki-laki itu.

“Jangan bercanda!!, Sekarang sudah hari sabtu, mana mungkin 5 hari tidak datang!!.”

“Aku sudah nunggu dari tadi, ga ada ... .“ raut wajahnya berubah layu.

Dia adalah anak laki-laki yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku, dia adalah sahaba... Eh bukan, dia adalah bocah aneh yang selalu membuat Aku selalu tersenyum dengan tingkahnya, Iman Syafa’at. Anak laki-laki yang hampir tiap hari aku marahi lalu diam-diam ku rindukan.

“Kenapa ga beli batagor saja ??.” Tiba-tiba Nisa memecahkan lamunanku dengan celetukannya, sebungkus batagor sedang dia nikmati.

 “Enek Nis makan batagor sama gorengan terus tiap istirahat, Aku kan tidak seperti kamu.”

“Betuuull.” Iman menyepakati.

“Ke warung Bu Haji aja beli ketan goreng, gimana??.”

“Tutup ... “ Iman menyanggah, singkat.

“Ke kantin aja, gimana ??,” tawar Nisa.

“Tadi kita sudah kesana kan, ga ada yang menarik.” Jawab Iman.

“Betuuull.” Giliran Aku yang menyepakati.

Yaa beli apa kek, daripada membusuk di teras, bosen... .”

“... .”

Aku tidak bisa menjawab, kekurangan nutrisi membuat otakku sedikit lambat berpikir, apalagi bocah kelas 4 dari tadi asyik bermain lompat tali didepanku membuat aku pusing, ditambah lagi anak kelas 3 sedang bermain kucing-kucingan mereka berlarian kesana kemari membuat aku semakin pening. Urgh.

“Kita kedepan aja yukk, siapa tau Mang Alit datang,” celetuk Iman.

Yuukk!!.” Aku mengamini, senyum manisku untuk ide brilianmu itu Man.

Iman memalingkan wajah, lalu berlari ke arah gerbang sekolah. Apa senyumanku tidak indah??.

“Tunggu Maaaannn!!!.” Aku mengejar dia dari belakang.

“Eh Dwi, tunggu Aku ikuutt... Dwiiiiiii !!!!.”

“Ayo cepet Nis!!.”

“Bentar... .” Nisa meraih tanganku, kami berlari beriringan.

Dia adalah Annisa Azkiyah Nur sahabatku dari kecil, kami sering bermain bersama sejak bayi katanya, kami terpisah ketika keluargaku pindah rumah, namun Bhaktiwinaya mempertemukan kami kembali, sejak itu kami selalu duduk sebangku. Tubuh kami sama-sama kurus namun badan Nisa lebih tinggi dari Aku, kulitnya putih bersih berbeda dengan aku yang kecoklatan gara-gara sering main layangan, rambut dia hitam panjang cantik bagaikan model  shampo di TV kontras dengan rambutku yang bergelombang pirang tersengat matahari. Dia itu sangat pendiam, sedikit berbicara banyak makan, hampir sempurna.

“Kita tunggu disini saja,” kata Iman sedikit memerintah, kami ikut serta saja.

Kami bertiga duduk di pinggir jalan tiga meter sebelah kanan dari gerbang utama sekolah, di tembok rendah pagar sekolah yang biasa digunakan ibu-ibu murid kelas satu ngerumpi sambil menunggu anak mereka pulang. Didepan sekolah terdapat jalan desa yang tidak terlalu ramai, jarang terlihat mobil yang lewat, paling tukang ojek yang sering lalu lalang mengantarkan penumpang, melaju pelan. Anak-anak bebas keluar masuk sekolah, kami cukup beruntung sekolah memperkenankan kami jajan di luar. Biasanya sepanjang jalan depan sekolah dipenuhi penjaja makanan dan tukang jualan mainan, kini yang tersisa hanya Mang Dadang tukang batagor dan penjual agar-agar yang tidak Aku kenal.

“Biasanya Mang Alit jualan disini.” Iman membuka pembicaraan, wajahnya menoleh ke arah barat seolah sengaja menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

“Sepertinya Mang Alit Jualan ke Kabupaten deh, kata Bapak disana sedang ada kejuaran bola voli tingkat Kabupaten, besok finalnya.” Lanjut Iman memperpanjang pembahasan.

“... .” Nisa tidak memperhatikan, dia sedang asyik menikmati permen kaki, batagornya sudah habis sejak tadi.

“Iya... ,” jawabku singkat, usaha Iman tidak berhasil.

Betul, disinilah biasanya Mang Alit jualan, di gerobak biru berbalut seng berkarat, Cilok Si Bos sebuah tulisan warna-warni terlukis pada kaca depan gerobak. Entah apa yang membuat cilok jualannya itu begitu enak, mungkin karena bentuknya yang bulat sempurna, bisa jadi. Barangkali dia memasukkan ramuan rahasia pada bumbu kacangnya agar terasa lebih lezat, mungkin. Jangan-jangan dia memasukan campuran khusus sehingga isi cilok begitu gurih dan lumer dimulut ketika dikunyah, Aku tidak mengerti. Atau dia menggunakan kecap spesial yang harganya mahal sehingga ciloknya begitu menggigit di lidah, tidak, tidak mungkin, barang seperti itu tidak mungkin bisa dia beli. Aku penasaran.

Mang Alit tidak tampan, kulitnya legam berkeringat, baju kotak-kotak kusam dibungkus rompi hitam lusuh selalu ia kenakan. Bos, itulah panggilan dia kepada semua pelanggan. Aku, Bos Uwi panggilan sayangnya untukku. Nisa, biasa dipanggil Bos Ratu. Iman, Boss Kancil, hidung Iman selalu kembang kempis kegirangan tiap kali dia dipanggil seperti itu. Semetara dia memanggil dirinya sendiri sebagai Bos Besar padahal badannya kerempeng.

Mang Alit sering bercerita kalau dia ingin punya anak yang berani seperti Aku, cantik seperti Nisa, dan pintar seperti Iman, isterinya tidak kunjung berbadan dua. Tapi sekarang jangankan cerita, beritanya pun tidak ada, lima hari sudah Mang Alit tidak kelihatan.

Jalanan mulai sepi, suara anak-anak yang tadi berkumpul di Gerobak Mang Dadang hilang senyap, motor roda dua melintas dihadapan kami tanpa suara. Sinar matahari menyengat terasa dingin di kulit, langit seakan mendung menghitam teratur. Kerikil melantunkan lagu sunyi langutanku ke angkasa, perlahan hangat mulai terasa di ujung mataku, pandanganku berputar.

“Dwii!!, lihat itu !!,” Aku terperanjat, telunjuknya Nisa mengarah ke Timur sisi lain jalan. Gerobak biru?.

“... .” Iman bangkit dan berlari seketika. Aku masih mengucek-ucek mata memastikan yang kulihat itu nyata atau ilusi.

“Itu gerobaknya kan Wi??,” Nisa mencoba mencari pengesahan.

“... .”

Dia semakin mendekat, Iya tidak salah lagi itu gerobak Mang Alit, dari kejauhan Aku bisa menegaskan bahwa itu memang gerobaknya, yakin. Penantianku terbayarkan, akan kulunasi selera makanku yang sudah berontak dari kemarin lusa, akhirnya... .

TTTTTEEEEEEEEEETTTTTTTTTT...
TTTEEEEEEEEEETTTTTTTT...
TTTTTTTTTTEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT...



Bandung, 27 Februari 2016