Jumat, 11 Maret 2016

Sangkuriang dan Penaklukan Jawa Barat*





Bocah kecil dekil di pinggir jalan­­, Ayahnya entah dimana Bunda telah tiada, hidup sebatangkara tanpa sanak saudara, Sangkuriang namanya. Enam bulan yang lalu dia masih duduk di kelas 5 SD, dulu. Hari ini terminal Leuwi Panjang yang menjadi tempatnya mencari ilmu, pinggiran toko kamar tidurnya, dan angkutan kota tempat dia mencari nafkah.

Lihatlah negeri kita ...
Yang subur dan kaya raya ...
Sawah ladang terhampar luas ...
Samudera biru ...

Lagu Negri Ngeri karya group band Marjinal sudah sangat dihafalnya, sepasang tangan kecilnya menjadi instrumen pengiring, suara serak seadanya modal utama meraih sesuap nasi.


Tapi rataplah negeri kita ...
Yang tinggal hanyalah cerita ...
Cerita dan cerita, terus cerita…

Pengangguran merebak luas ...
Kemiskinan merajalela ...
Pedagang kaki lima tergusur teraniaya ...

Bocah-bocah kecil merintih ...
melangsungkan mimpi di jalanan ...
Buruh kerap dihadapi penderitaan ... 

Nyayian Sangkuriang terhenti, Pak sopir tampak akan meninggalkan terminal, angkutan kotanya sudah diparkir lama namun tak kunjung penuh terisi penumpang.

“Assalamu’alaikuum...,” dia bungkukkan badan kecilnya, tangannya terbuka meminta iba. Seorang ibu memberinya lima ratus rupiah, dia balas dengan sebuah senyuman, penumpang yang lain sibuk memperhatikan layar telepon genggam mereka masing-masing, tak peduli.

Di ujung angkutan seorang wanita duduk termenung, Dayang Sumbi namanya, wanita yang ditakdirkan merubah hidup Sangkuring. Wajahnya cantik pasti baik hatinya, pikir Sangkuriang.

“Assalamualaikum Mbaa... Mbaa...,” sangkuriang semakin membungkuk masuk ke dalam angkutan.

“Apa Mba-Mba-mba,, sejak kapan Aku punya adik seperti kamu, NAJIS !!! ,”  wanita itu memalingkan pandangannya.

Hati Sangkuriang remuk seketika, angkutan kota pun pergi belalu, tangan Sangkuriang gemetar, sakit rasanya diremehkan, dihinakan.

“Aku bersumpah, Aku akan berhenti mengamen di angkutan kota !!,” dia lempar uang koin ditangannya ke selokan, dia murka.

Benar saja, keesokan harinya Sangkuriang tidak pergi ke terminal angkutan kota, dia pergi ke terminal bus, dia mengamen di bus antar kota dalam provinsi.

Kini Sangkuriang tidak pernah berdiam lama di satu kota, hari ini ada di Sukabumi lusa sudah adai di Cianjur, tidur di Bekasi terbangun di Depok. Di terminal dia menemuai banyak orang, belajar banyak hal, dari mulai mencuri sepeda motor hingga mencongkel rumah orang pernah dia lakukan, bisnis gelap kini pekerjaannya. Sangkuriang tidak pernah lagi tidur di pinggir toko, banyak teman dan kenalan yang dimilikinya kini, kadang dia tidur di rumah teman,dan kadang dia tidur di rumah tahanan.

Dibesarkan dijalanan dilatih dengan kerasnya kehidupan, Sangkuring tumbuh menjadi sosok pemuda yang tidak kenal takut tidak pernah menyerah, tidak takut mempertaruhkan nyawa tidak takut merampas nyawa. Seperti yang terjadi seminggu yang lalu, dia terlibat perkelahian dengan dua orang anak Sekolah Menengah Atas yang berakhir dengan kematian salah seorang anak yang menjadi tandingannya. Tapi akhirnya dia dibebaskan karena tidak cukup bukti.

Begitulah hari-hari yang dia lewati setiap hari, dia samasekali tidak menyadari sesuatu yang besar akan terjadi padanya, kehidupan Sangkuriang yang tak lebih hanya seorang preman terminal akan berubah total.
Sore itu Sangkuriang sedang menunggu Si Tumang, temannya yang memiliki hutang besar padanya, katanya hari ini akan memberikan bisnis besar sebagai bayaran atas hutang-hutangnya.

“Uhuuk... uhuukkk... uuhhhuukk...,” seorang kakek dua meter di sebelah kiri Sangkuriang tampak sedang menunggu angkutan, Sangkuriang duduk di pinggir toko beralaskan koran.

“Uuhuukk... uhuk... uuuuuhuuuukkk...,” sepuluh menit berlalu tak satu pun angkutan kota yang lewat, dan selama itu juga Si Tumang tidak juga terlihat.

Kalo sakit ke dokter aja Kek !!.” Ganggu banget, Sangkuriang mengoceh dalam hati.

“Kakek tidak sakit, cuman tenggorokan kering,” Si Kakek beralasan.

“Ini minum ini aja,” Sangkuriang menyerahkan botol air mineral ditangannya kepada Si Kakek, dia malas beranjak dari tempat duduknya, mudah-mudahan Kakek tua itu cepat pergi pikir Sangkuriang.  Si Kakek pun mendekat dan segera meminum air mineral itu sampai habis, haus rupanya. Sangkuriang hanya bisa melihat pasrah.

“Terima kasih nak, Baru kali ini Kakek menemukan orang sebaik kamu, Kakek benar-benar tertolong,” Si kakek salah paham, “Kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu, hubungi Kakek saja yaa.” Sebuah kartu nama disodorkan kepada Sangkuriang, SI Kakek tersenyum kerut diwajahnya tampak jelas.

“Haah... ??,” Sangkuriang mengambil kartu nama itu, dia tak punya pilihan.

Sungging Purbangkara
The School of Business and Management ITB

“Kakek seorang dosen ??,” tanya Sangkuriang setengah meloncat dari tempat duduknya, dia  begitu bersemangat, “Kek... !!.” Sangkuriang tahu sedikit bahasa Inggris meski dia tidak lulus Sekolah Dasar.

“Hehehehe,” kakek tersenyum, giginya tidak bersisa.

Sejak saat itulah Sangkuriang menjadi anak didik Kakek Sungging, dipelajarinya semua jenis manajemen dari mulai manajemen sumber daya manusia sampai manajemen produksi. Berbagai macam buku pun dilahapnya mulai dari buku manajemen pemasaran karya Philip Kotler dan Kevin Lane Keller sampai novel Student Hidjo karya Marco Kartodikromo. Dia begitu menaikmati masa-masa itu, seolah sumbatan di kepalanya hilang hingga ilmu bisa mengalir deras tak terbendung, otaknya kebanjiran.

Hari berganti bulan berlalu tahun berselang, pemuda dekil preman terminal itu kini telah berubah menjadi pemuda tampan rambut kelimis bertutur sopan, Pendidikan telah merubah Sangkuriang, dua tahun lamanya, hingga saat untuk Sangkuriang pulang pun tiba.

“Apa kamu yakin mau pergi dari tempat ini??,” kakek Sunging berkaca-kaca.

“Aku sadar selama ini Kakek sudah merawatku dengan baik, terimakasih Kek, tapi Aku merasa inilah waktunya untuk Aku mempraktekkan semua ilmu yang telah Kakek berikan,” Sangkuriang bersujud dibawah kaki Kek Sungging,”Aku ingin sukses, Kek.” Sangkuriang menengadah memandang mata si kakek berharap ijin darinya.

“Baiklah, bila memang itu keinginanmu, Nak,” kakek mengusap kepala Sangkuriang perlahan.

“Terimakasih kek,” Sangkuriang mencium tangan Kakek Sungging kemudian dia pamit pergi.

Kehidupan yang baru pun memulai, Sangkuriang memilih untuk mengaplikasikan ilmu barunya di tempat pertama kali dia mempelajari Hidup, Terminal.

“Saa... Sangkuriang, ini beneran elu Ang??,” seperti melihat setan Si Tumang terbelalak melihat perbedaan penampilan Sangkuriang sekarang.

“Hai Mang, apa kabar??, lama tidak bertemu masih botak aja nih ??, ” sangkuriang menyalami Tumang.

Ahh Dasar !!. Elu kesambet yaa Ang??, liat ini baju lu, mau kemana lu?? Kondangan hahaha??,” Tumang mengendus-endus aroma wangi yang keluar dari badan Sangkuriang.

“Udah-udah-udah,, ceritanya nanti saja, sekarang kita bicara bisnis dulu,, Ayo ke tempat biasa,” Sangkuriang tersenyum.

“Ayok, siapa takut,,, ,” Tumang tertawa, giginya yang kuning terlihat rapi.

Disana, didepan Rumah makan nasi Padang Painan Indah pinggir terminal dekat toilet umum, mereka berdua duduk dengan sebuah rencana besar, penaklukan Jawa Barat.

Keesokan harinya rencana penaklukan Jawa Barat pun dimulai, Sangkuriang menemui kawan-kawannya satu persatu di tiap kota dan terminal yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Bisa saja Sangkuriang menghubungi mereka melalui telepon, bisa saja. Tapi ini masalah kepercayaan, didalam bisnis ini kepercayaan yang menjadi pondasi utama.

Di setiap terminal kini ada anak buah Sangkuriang, perlahan bisnisnya mulai besar dan namanya mulai dikenal bahkan sampai luar Jawa Barat. Sangkuriang Si Bos Besar.
“Kita harus bergerak!!,” Sebuah map berisi banyak lembaran file dilemparkan ke atas meja. Sebuah kata bercetak kapital berwarna merah terlihat di sampul map, RAHASIA.

“Sangkuriang lagi??, yang bener ajah Sumbi, sampai kapan kamu akan mengejar dia??.”

“Jaga lidahmu, panggil Aku Komandan besar!!. Kombes. Dayang Sumbi Rarasati,,,” Dayang Sumbi melotot, urusan Sangkuriang adalah masalah serius baginya.

“Siap, BU!!,” Briptu Wayung Hyang hanya bisa menurut, dia hanya bawahan.

“Lusa akan ada pameran batu Akik di G.H. Universal Hotel lembang,” Sumbi duduk diatas meja untuk meredakan amarahnya, Wayung membaca brosur acara yang berada didalam file,”menurut informasi dari kenalanku di BIN, Sangkuriang akan datang di acara itu, katanya akan ada transaksi besar disana,” Sumbi yakin.

“Apa Sangkuriang itu bener-benar ada??, selama ini dia seperti hantu, dikejar kemana pun tidak pernah tertangkap, tidak ada bukti,, Aku mulai merasa kalo sebutan Sangkuriang Sang Raja Narkoba Jawa Barat hanya sebuah omong kosong, sudah lima tahun kita mengejarnya, Komandan, Kita tidak dapat apa-apa, nihil....” Wayung mencoba mengingatkan sahabatnya. Kerut di wajah Sumbi semakin kelihatan.

“Kali ini terakhir bagiku, Yung. Kali ini aku yakin bisa menangkap Sangkuriang, Aku yakin bisa menangkap pembunuh adikku, Aku yakin bisa menangkap dia, Aku yakin!!,” Sumbi memegang erat tangan sahabatnya itu, matanya berkaca-kaca.

“Kau lihat foto-foto ini, Yung,” Wayung Hyang memperhatikan dengan seksama, “Lelaki ini diyakini merupakan Sangkuriang,” telunjuk Sumbi mengarah ke sosok lelaki berkepala plontos di foto itu.

“Tapi wajahnya tidak jelas.”

“Coba kamu perhatikan lagi, Yung... Perhatikan polanya,” pandangan Wayung kembali ke foto-foto yang tersebar di mejanya, “Dia selalu dikelilingi 3 bodyguard, Si Rambut Gondrong, Si Kumis Tipis dan Si Rambut Kelimis... Kenalanku belum bisa memastikan siapa identitas para bodyguard di foto itu, tapi bila kita menemukan pola seperti ini di pameran maka di pastikan Si Kepala Plontos itu adalah Sangkuriang.” Sumbi menyalakan sebatang rokok.

“Tapi kamu harus janji..., kamu harus menahan diri ketika bertemu dengan Sangkuriang, kamu harus menangkap orang itu bukan membunuhnya, janji?,” Wayung menjentikkan jari kelingkingnya.

Iyaaa, Aku janji deh,, Aku mengerti kok,” Sumbi mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Wayung, sebuah perjanjian telah dikukuhkan. 

“Baiklah, siapa saja yang mengikuti operasi ini ??.”

“Hanya kita berdua.”

“Haahh!!.”

Dengan persiapan yang cukup tergesa-gesa, akhirnya operasi penangkapan Sangkuriang pun dimulai. Acara pameran batu akik sudah berjalan sejak dua jam yang lalu, ruang pameran dipenuhi oleh para pencinta batu akik dan para orang kaya yang kurang kerjaan. Sumbi tampak berkeliling dengan menggunakan dress merah pendek dengan sentuhan ornamen pita kupu-kupu kecil diatas dada sebelah kirinya, dia tampak menggoda untuk wanita seusianya. Sementara Wayung menggunakan dress panjang berwarna hijau tua, punggungnya terbuka sengaja menarik perhatian lelaki disana.

Satu jam berlalu Sumbi sedang berada di tengah ruangan pameran, ketika dia membalikkan badan tiba-tiba saja seorang laki-laki menghampirinya, Lelaki berkepala plontos yang diikuti oleh para bodyguard-nya.

“Sii Si Kekepala Pelontos..., Si Rambubut Gondrong..., Sii Si Kumis Tiiipis.... dan Si Raraambut Keelimis, ... Ituu,” ucap Sumbi dalam hati tergagap-gagap, lidah Sumbi tidak bisa mengucapkan kata-kata.

Rombongan itu berjalan perlahan melewati Sumbi.

“Tahan Sumbi,” Wayung yang berada dikejauhan hanya bisa berteriak dalam hati juga sambil memperhatikan tangan kanan Sumbi yang mulai menarik ujung roknya.

Sepucuk Pistol asal Belgia FN 57 tersembunyi dibalik rok Sumbi, Si Gondrong yang melihat pistol Sumbi pun bergerak cepat menyelamatkan atasannya.

“DOOORRR!!!.”

Peluru melesat cepat lurus searah. Suara pistol memaksa para tamu untuk berteriak seketika, pundak si Gondrong berdarah .

“DOOORRR!!!.” Tembakan kedua meleset, Si Kumis Tipis yang menjadi tumbal.
               
Para tamu pun mulai panik mereka berlari kearah pintu masuk dan mjauhi Sumbi. Si Rambut Kelimis menggunakan meja sebagai tameng, Wayung mau tidak mau harus ikut dalam ajang adu tembak ini, tim securty acara pameran pun ikut bergabung.

Peluru berterbangan amarah Sumbi tak terkendali, Wayung yang berteriak mengingatkannya pun seolah tak terdengar hilang tenggelam diatara teriakan-teriakan pengunjung yang meninnggalkan ruangan, tim security terdiam sepuluh meter di belakang Sumbi menunggu kesempatan untuk menghentikan Sumbi.

“Selamatkan Aku... !!.”

“Kamu ingin diselamatkan??, Baiklah.”

“DOOORRR!!!.” Si Rambut Kelimis menembak kaca jendela ruang pertemuan yang terhubnung dengan lorong menuju Aula belakang. Melihat hal itu, Sumbi pun segera mendekat.

Si Rambut kelimis meloncat seperti harimau yang kelaparan, tanpa ragu tanpa takut, secepat kilat dia berlari menyelamatkan dirinya sendiri menuju Aula belakang dan berbaur dengan keramaian, pistol ditangannya telah disembunyikan, sementara Si Rambut Plontos telah dari tadi ia lupakan.

“Menyerahlah kau Sangkuriang, ini adalah akhir untuk petualanganmu,”Si Kepala Plontos tidak sempat meloncat, Sumbi mengarahkan barrel pistolnya ke wajah Si Kepala Pelontos.

“Jangan Sumbii!!, ingat janji kita,, penjahat itu layak untuk dapatkan hukuman berat, kematian terlalu mudah untuk dia!!,” Wayung kebingungan, haruskah dia menembak kaki temannya sendiri agar tidak membunuh, atau membiarkan saja.

“Tahan Mbaa, Sabar Mbaa...,” para security lebih bingung lagi, mereka tidak dilatih untuk keadaan seperti ini. Sirine polisi mulai tersengar di luar Hotel.

“Kamu ingat beberapa tahun yang lalu, dua anak SMA yang berkelahi dengan kamu,” Sumbi tidak bisa menahan air matanya, ”anak yang kau bunuh itu adikku, dia itu asikku, Sangkuriang !!!.”

“Tidak!!, kamu salah paham,.. Aku bukan Sangkuriang.., Aku Ttum..,”

 “DOOORRR!!!.”

****




Bandung, 09 Maret 2016


* Cerita ini dibuat tanpa maksud menghina atau merusak Cerita Sangkuriang yang Asli
   Cerita ini sebuah latihan memberikan cerita yang berbeda untuk tokoh yangs sudah dikenal


Tidak ada komentar:

Posting Komentar