Selasa, 15 Maret 2016

Balada Sepasang Kaki dan Roda-roda Angkutan Kota.





“Sebelumnya pernah kerja di bidang ini?.”
“Belum Pak, paling cuman bersih-bersih biasa di rumah.”
“Kalau misalkan ikut pendidikan dulu satu bulan hanya dikasih makan doang, bersedia tidak?.”
“Bersedia Pak!!.”
“Baiklah kalau begitu, kalau kamu keterima nanti Saya hubungi.”
“Terima kasih Pak.”
Aku tinggalkan ruang sempit itu, lesu rasanya, sepertinya kali ini pun Aku tidak akan diterima. Untuk seorang lulusan Aliyah yang minim kemampuan seperti Aku, mendapatkan kerja menjadi sesuatu yang teramat pelik, sementara berbagai lowongan pekerjaan justru mencari pekerja berpengalaman.
Sebenarnya keinginanku setelah lulus sekolah itu masuk kuliah, tetapi apa daya, Bapak yang hanya karyawan pabrik biasa tidak menyanggupi untuk membiayaiku kuliah. Mengikuti jejak Bapak masuk pabrik pun samasekali tidak ada dalam rencana hidupku, gak mau pokoknya gak mau!!. Akibatnya, 2 tahun sudah Aku menganggur. Ahh pekerjaan apapun akan Aku terima asalkan halal.
Tiba-tiba langkahku terhenti tepat di depan masjid Daarrut Tauhiid, jam di tembok luar menunjukkan pukul 10, Aku harus bergegas menuju tempat cetak foto untuk mengambil pesanan cetak fotoku tadi siang harusnya sekarang sudah selesai.
“Sudah jadi A?.” Aku bertanya pada si Aa pekerja tempat cetak foto, bukan ke Aa Gym. Tempatnya kecil lebih mirip warung rokok yang disulap menjadi tempat cetak foto, terletak di pinggir jalan, sangat strategis.
“Aduuh, belum Kang. Ini printer-nya macet, sedang coba Saya betulin,” Si Aa Foto memperlihatkan tangannya yang hitam tidak keruan karena tinta sebagai bukti usahanya.
“Kira-kira bisa beres jam berapa A?.” tanyaku sedikit memaksa.
Kayaknya jam satu Kang, bentar lasgi Jum’atan,” jawabnya sambil kembali mengecek printer fotonya.
“Oke, nanti jam satu Saya kesini lagi.” Aku meninggalkan Si Aa Foto sendirian, dia tampak tidak terlalu perduli.
Aku buka kembali lembaran kecil brosur lowongan kerja yang Aku simpan di saku, lowongan kedua yang harus Aku kejar, jauh-jauh datang ke pusat kota Bandung rugi rasanya kalau hanya datang ke satu tempat saja. Tapi masalahnya kalau fotoku tidak juga bisa dicetak maka kemungkinan besar Aku tidak akan bisa menghadiri tempat lowongan kerja kedua berada, kantornya tutup pukul 2 di hari jum’at ini, Aku gelisah.
Adzan pun berkumandang, Aku sudah di lantai dasar Mesjid Daarut tauhiid, lantai utama sudah penuh sejak sebelum Aku datang. Sepanjang khutbah yang teringat adalah lowongan kerja, apa yang akan ditanyakan penguji, jalur angkot mana yang harus Aku gunakan agar bisa sampai dengan cepat dan tentu saja pekerjaan apa yang ditawarkan oleh perusahaan ini, di brosur tidak dijelaskan interview langsung ditempat katanya, otak ini tidak mau berhenti berpikir.
Setelah Imam menutup shalat Aku pun salam dan meninggalkan masjid, jam di tembok menunjukkan pukul setengah satu siang, mudah-mudahan fotoku sudah dicetak.
“Gimana A, sudah jadi?,” tanyaku sambil mengatur nafas, lari dari masjid ke tempat cetak foto ternyata menguras tenaga.
“Belum bisa Kang, masih bermasalah nih, ini juga masih banyak yang belum Saya cetak,” raut wajahnya semerawut.
“Kalau begitu Saya cetak ditempat lain saja, soalnya Saya butuh cepat,” hancur penantianku sia-sia
“Maaf yaa Kang.” Si Aa foto menyerahkan negative fotoku kembali, segera Aku ambil. Aku meninggalkan Si Aa Foto sendirian, Aku tidak terlalu perduli.
Aku segera menaiki angkutan kota, mudah-mudahan dijalan bertemu tempat cetak foto. Benar saja, baru juga beberapa ratus meter meninggalkan pertigaan Panorama Aku sudah menemukan tempat cetak foto.
“Ya Alloh, mudah-mudahan bisa cetak kilat,” do’aku dalam hati sambil berlari memasuki studio foto. Tempatnya kecil namun terlihat bersih dengan nuansa warna putih dan hijau dimana-mana.
“Bisa cetak foto kilat Mba?,”jantungku berdetak kencang.
“Bisa Mas, ukuran berapa?,” Si Mba tersenyum, kali ini Aku dipanggil Mas.
“2x3 empat, 3x4 juga empat,” jawabku sambil membaca brosur lowongan khawatir salah, negatif foto pun Aku serahkan kepadanya.
 “Semuanya jadi lima belas ribu,” selembar nota pesanan diserahkan padaku.
“Ini Mba,” nominal uang sesuai tagihan pun Aku berikan padanya.
“Ditunggu yaaa,” Si Mba tersenyum, Aku masih gelisah.
Aku duduk di kursi dekat pot bunga, entah tanaman apa yang ada didalam pot, daunnya panjang-panjang mirip yang ada di rumahku, sejenak perhatianku teralihkan sampai akhirnya aku melihat jam di dinding, pukul satu lebih 10 menit, Sudah selama itu kah Aku menunggu disini?, tidak terasa.
“Mas, “ Aku dipanggil.
“Terima kasih Mba,” foto telah berpindah tangan.
Aku meninggalkan tempat cetak foto dengan bahagia, setengah beban terangkat ke langit, sekarang Aku harus segera menuju MTC Bandung wawancara untuk lowongan kedua. Beruntung angkutan kota jurusan Kalapa-Ledeng disepanjang Jalan Setiabudhi tidak pernah sepi.  Aku segera menaiki angkutan kota, Aku duduk di depan dekat Pak Sopir, sengaja.
“Pak, kalau mau ke MTC Bandung yang di Soekarno-Hatta naik angkot apa yaa??,” tanyaku memastikan jalur angkutan yang akan Aku gunakan nanti agar tidak salah jurusan.
“Ohh Metro, masih jauh…,” Pak Sopir mulai menjelaskan satu persatu dengan terperinci angkutan mana yang harus Aku gunakan. Sepanjang jalan Aku mengingat-ingat rute yang disarankan padaku.
Aku hanya bisa pasrah, berpindah dari satu angkutan kota ke angkutan kota yang lain, empat kali ganti baru bisa sampai di tempat yang dimaksud. Jalan Soekarno-Hatta memang jalur yang sibuk, Aku cukup kesulitan untuk bisa menyeberangi jalan itu.
Blok J-2 tempat tujuanku, Aku menyusuri tiap blok sampai hamper tersesat, entah ada berapa ratus ruko yang tersedia disana.
Setelah puas berputar-putar blok J-2 pun ditemukan, Aku beranikan diri untuk memasuki kantor itu, pukul setengah empat jam di dinding. Tidak, Aku terlambat, sangat terlambat.
Ruko yang digunakan sebagai kantor ini ukurannya kira-kira 5x5 meter persegi, panel dari tripleks yang tinggi membagi ruangan sehingga seluruh ruangan tidak bisa kelihatan, bagian depan hanya berukuran 1x4 meter. Suara orang-orang seperti sedang mengikuti sebuah seminar terdengar dari dalam. 
“Silahkan duduk Mas,” Seorang pekerja berdasi yang duduk di meja kayu menyambutku.
“Saya ga telat kan Pak?,” tanyaku mencoba mencari kepastian.
“Tenang, kantor masih buka kok. Nama Saya Rio, Saya staff disini, Ada yang bisa Saya bantu,” tanya Si Bapak berdasi hitam itu ramah.
“Saya Ridwan, Saya ingin melamar kerja,”jawabku langsung.
“Baiklah Mas Ridwan, Syarat-syaratnya sudah lengkap?.”
“Ada Pak,” Aku pun menyerahkan map lamaran yang  sudah Aku siapkan.
“Baiklah, Saya harus ucapkan selamat,” Pak Rio tersenyum, “Dengan ini Mas Ridwan sudah 25% diterima di perusahaan kami,” Pak Rio menyalamiku, Aku kebingungan. Lho Aku diterima?, 25%?.
“Nah, untuk membuat Mas Ridwan naik jadi 65% diterima di perusahaan kami, Mas Ridwan harus mengisi formulir data diri dan mengisi lembar jawaban, ada 30 pertanyaan yang harus dijawab, semuanya pengetahuan umum kok,” Pak Rio tersenyum lagi, “tapi pesan atasan Saya, formulir ini tidak gratis…,” hah! Bayar?, tanyaku dalam hati.
“Dua puluh lima ribu saja, ini untuk menguji keseriusan Mas Ridwan untuk bergabung di perusahaan Kami,” Pak Rio tersenyum lagi, Urgh.
Beban yang tadi telah diangkat ke langit ketika di studio foto serasa turun lagi jatuh di pundakku, dengan bobot dua kali lipat, Aku bingung. Segera Aku periksa sisa uang di saku, tiga puluh ribu rupiah lagi, bagaimana caranya Aku pulang.
“Saya sih tidak memaksa, semuanya kembali ke Mas Ridwan,” Pak Rio masih saja tersenyum.
Ahh mungkin ini jalan untukku bisa mendapatkerja, lalu setelah berfikir keras …
“Siap Pak, Saya coba,” Aku berikan uang yang diminta, uangku. Kemudian Aku isi semua pertanyan yang ada di formulir tanpa sisa.
“Ini Pak,” Aku menyerahkan formulir dan lembar jawaban, pertanyaannya tidak terlalu sulit Aku bisa menyelesaikan nya dalam 45 menit, Aku yakin nilaiku bagus.
“Baiklah, Saya harus ucapkan selamat,” Pak Rio tersenyum entah untuk ke berapa kalinya, “dengan ini Mas Ridwan sudah 65% diterima di perusahaan kami,” Pak Rio menyalamiku lagi, setelah ini apa? Tanyaku dalam hati.
“Nah, untuk membuat Mas Ridwan diterima 100% di perusahaan kami, Mas Ridwan harus memilliki salah satu produk yang dijual oleh perusahaan,” Pak Rio mengeluarkan brosur dari laci mejanya,”ini ada tiga buah paket peralatan dapur, paket A dua ratus ribu, paket B dua ratus lima puluh ribu, paket C tiga ratus ribu,” jelasnya, Aku malas mendengarkan,”paket yang mana pun yang Mas Ridwan beli akan mengakibatkan Mas Ridwan diterima diperusahaan Kami.”
“Tapi pesan atasan Saya, peralatan dapur ini tidak boleh dijual ke orang lain,” tambahnya lagi masih sambil tersenyum,”ini juga sebagai bukti loyalitas Mas Ridwan sebagai calon pekerja kepada perusahaan.”
Aku terdiam, uangku sudah habis, untuk ongkos pulang pun belum tentu cukup.
“Saya tidak memaksa kok, kalau misalkan Mas Ridwan mau pulang dulu, bilang ke orang tua dulu, pikir-pikir dulu, silahkan,” dia masih saja tersenyum,”brosur ini silahkan dibawa pulang, disitu ada nomor kantor, nanti Mas Ridwan tinggal telepon bersedia membeli paket yang mana, biar kursi untuk Mas Ridwan Saya amankan, Saya tunggu teleponnya maksimal lusa harus sudah ada keputusan,” dia memberikan brosur alat dapur kepadaku masih sambil tersenyum, urght!.
“Baiklah kalau begitu, nanti Saya hubungi secepatnya.” Jawabku sambil pamit pulang.
“Baik, Saya tunggu kabar baiknya yaa Mas Ridwan. Hati-hati dijalan,” iya dia masih saja tersenyum.
Senyumannya seperti sedang berdansa ria diatas kekuranganku dan ketidakmampuanku, Ingin rasanya ku pukul wajahnya.
Aku tinggalkan komplek pertokoan itu dengan rasa sesak di dada, langkah ini terasa berat menyusuri trotoar jalan, ada banyak kendaraan yang melintas tapi tak satu pun yang bisa aku tumpangi, Aku tak berani.
Matahari mulai melukis jingga di langit, dicampurkannya pula merah dan kuning dengan indahnya, awan pun perlahan mengikutinya. Tunggulah Matahari, jangan dulu ternggelam, temani Aku jangan dulu pergi, hari ini Aku pulang jalan kaki. Mataku kelilipan. 



Bandung, 12 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar