Senin, 04 April 2016

Nyawa



Angin masih saja sepoi bertiup lembut menari memainkan ujung rambutku dari jendela besar yang menghadap ke Timur disamping kanan Saya yang sengaja dibiarkan terbuka. Langit temaram tergambar, pagi yang sejuk kelabu. Sayup-sayup tedengar lagu Two Wounded Bird diputar.
“Sarapan sudah Siap, roti isi telur dan segelas susu low fat. Hari ini, 25 Maret 2099, Suhu udara diluar 15,8 Celcius, pukul 3 sore diramalkan kan terjadi hujan.”
“Lalu…?.” Saya duduk di ruang tengah rumah dengan santai.
“Anda memiliki 13 pesan dari Nona Dwi yang belum dibaca.”
“Apa katanya?,” tanya Saya yang tengah asyik mengeser-geser halaman berita hologram, meja mekanis bergeser perlahan mendekat menyajikan sarapan untuk Saya.
“Secara umum Nona Dwi mengingatkan Anda agar jangan sampai lupa untuk general check-up kesehatan Anda hari ini.”
            “Okay, tandai sudah dibaca.”
            Seluruh pesan sudah dibaca….”
            “Lalu apalagi, Daisy?,” tanya Saya sambil menikmati roti isi telur sarapan pagi yang sudah disiapkan Daisy, aroma bawang putih meretas di gigitan pertama.
            Hari ini Anda memiliki janji untuk general check-up di R.S Premier Hasan Sadikin pada pukul 10, lalu pertemuan dengan Nyonya Nisa dari Channel 8 di Gundam CafĂ© – Grand Novotel.”
             “Hapus janji dengan Nisa, lalu kirim pesan permohonan maaf Saya tidak bisa hadir… bilang saja mendadak ada yang harus Saya kerjakan di Lab,” malas rasanya harus bertemu dengan nenek tua itu, pertanyaan dari channel 8 selalu saja sama, bagaimana kadaan tubuh Anda?, membosankan, “ Oh iya Daisy, jangan lupa tulis juga permintaan untuk pengaturan ulang pertemuan,” siapa tahu besok lusa semangat bertemu dengan dia muncul.
            Baik…, agenda dihapus…, pesan berhasil dikirim.”
            Daisy adalah sebuah Personal Intelligence Assistant  (PAP) yang dikembangkan oleh Google sejak 30 tahun yang lalu, beruntung Saya bisa memiliki versi terakhirnya.
“Ada lagi, Daisy?.” tanya Saya sambil beranjak dari tempat duduk
“Saya sarankan Anda menggunakan Mantel, diluar sangat dingin, Tuan.”
“Baiklah, kalau begitu Ayo kita berangkat.” mantel tebal warna hitam segera Saya gunakan.
Pintu kaca depan rumah terbuka secara otomatis, Saya berjalan menyusuri tangga batu granit dan melangkah menuju pinggir jalan tempat dimana MiniCars Saya telah menunggu. Wikk-wikk-wikk, perlahan pintunya terbuka hanya dua kursi yang tersedia, Saya duduk dibelakang kemudi.
“Selamat siang Tuan.” Daisy sudah terhubung dengan perangkat Minicars dengan cepat.
            “Okay Daisy, ambil alih kemudi, bawa Saya ke R.S Premier Hasan Sadikin.” Saya kencangkan sabuk pengaman, kali ini Lagu Lonely day dari System of a down yang diputar.
            “Perintah segera diproses.”
            Minicars pun melaju sedang dijalanan lalu perlahan melayang dan terbang, Minicars sudah banyak berseliweran di langit Bandung-DC, mobil _semi pesawat_  listrik ramah lingkungan ini berhasil merubah wajah kota.
            Minicars memasuki jalur Flyover 005, Saya menoleh ke sebelah kanan, di ketinggian 50 meter Saya bisa melihat jelas wilayah Taman Kota, ratusan jenis bunga beraneka warna terawat dengan baik disana seolah mempertegas bahwa Bandung-DC ini adalah Kota Kembang. Saya harus menyempatkan main kesana kalau ada waktu luang.
“Kita telah sampai, Tuan,” pintu Minicars bergeser perlahan terbuka, R.S Premier Hasan Sadikin tidak terlihat berseri seperti biasanya, bangunan rumah sakit berdiri angkuh tampak pucat tidak tersinari matahari, angin dingin kembali bertiup membelai pipi Saya.
            “Selamat datang Tuan Iman,” DigiNurse tersenyum,  Saya melangkah keluar, kendali minicars segera diambil alih oleh sistem parkir Rumah Sakit, sementara Daisy secara otomatis tersambung ke Jam tangan di tangan kiri Saya. Saya berbaring di FloBed, tempat tidur khusus milik Rumah Sakit.
            FloBed melayang perlahan dan membawa Saya menuju lift, Martha Sang DigiNurse mengikuti dari belakang. Lift membawa Saya ke lantai 40, DigiNurse menanggalkan pakaian Saya satu persatu, dan menggantinya dengan pakaian pasien. Dingin, kulit DigiNurse itu dingin.
            “Selamat datang Tuan Iman…, Bagaimana… Apa hari ini sudah siap untuk Check-up?,” wanita itu tersenyum, giginya berderet rapi.
“Selalu siap, Dok.”Saya membalas senyumannya.
“Baik, sebentar yaaa.” rambut ikalnya disanggul rapi, usianya sudah 50 tahun lebih tapi masih terlihat muda, dr. Zahra namanya.
Ruangan prakteknya ini masih tidak berubah meskipun telah beratus kali Saya mengunjunginya, di sebelah kanan pintu terdapat meja besar tempat super computer beserta puluhan alat lainnya tertata rapi disana, tabung Examiner berukuran besar masih terbaring di samping meja, tipe lama telah diganti dengan Type 44B, yang paling terbaru. Tirai biru menjuntai membelah ruangan menjadi dua, entah apa yang ada dibalik tirai itu, Saya masih selalu penasaran.
FloBed mulai membawa Saya masuk kedalam tabung Examiner, pintunya tertutup, perlahan hangat mulai terasa, sayup terdengar lagu Lonely day dari System of a down lagi, Saya memejamkan mata. Cahaya warna warni menyelimuti tubuh.
* * * *
Januari 2019 Saya memutuskan keluar dari tempat kerja dan memulai usaha sendiri. Berkali gagal, empat kali bangkrut dalam kurun waktu enam tahun. Kehilangan tempat tinggal, kehilangan istri dan kehilangan tempat bersandar.
Sepuluh tahun kemudian jerih payah Saya mulai membuahkan hasil, usaha restoran Saya mulai menjamur, tidak hanya di Indonesia bahkan sampai ke Eropa dan Timur Tengah. Savety, merek dagang yang Saya usung dikenal di seluruh dunia. Semua yang tidak pernah Saya dapat akhirnya bisa Saya raih.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, 3 tahun kemudian kepala Saya mulai diserang pusing luar biasa, lalu penciuman dan penglihatan Saya mulai terganggu, aktifitas biasa sehari-hari mulai merepotkan, Saya kalut. Lalu bencana besar itu pun datang,  dokter memfonis Saya dengan penyakit kanker otak stadium 3, waktu Saya tidak banyak.
Kerajaan Saya mulai hancur, perlahan tabungan Saya habiskan untuk biaya pengobatan, hingga akhirnya perusahaan yang telah dibangun bertahun-tahun pun harus Saya jual, Saya bangkrut lagi.
“Aku bisa menolong Kamu, Man,” seorang teman menelepon Saya malam itu.
“Apa Kamu yakin, Dwi!!!,” Saya tidak percaya penyakit ini bisa disembuhkan.
“50-50… Kemungkinan keberhasilannya adalah 50-50. Percobaan ini belum pernah berhasil diujicobakan pada manusia, tapi untuk versi terbaru ini Aku yakin bisa berhasil.” Prof. Dwi Handayani Ratnasari seorang ahli genetika, teman kecil Saya.
“Tak apa,… hasilnya tidak masalah, karena pada akhirnya Saya akan mati juga,… Saya hanya ingin berusaha sembuh!!!.” Saya putus asa.
“Jepang…, datanglah ke Jepang….”
* * * *
“Bagaimana Dok, dengan hasil check-up Saya?,” dr. Zahra tampak serius meneliti hasil laporan pemeriksaan.
“Bagus…, Sepertinya hasil rekayasa genetik prof. Dwi masih bertahan ditubuh Anda, darah putih Anda dari hari kehari bekerja dengan sangat baik,” dokter zahra membuka halaman demihalaman laporan dengan seksama, “Hmmm… Saya melihat ada pengencangan di otot Triceps,” dokter membetulkan kacamatanya yang melorot.
“Akhir-akhir ini Tuan Iman memang sedang sering olah raga,” Daisy tiba-tiba ikut berbicara.
“Ahh Kamu terlalu berlebihan, Daisy.” Saya tersenyum kepada dokter Zahra.
“Maaf, Saya sudah lancang,” Daisy berkata, dokter Zahra malah ikut tersenyum dengan Saya.
“Ya… Selamat, Anda masih sehat seperti pemuda usia 25 tahun, ini sangat langka,” dr. Zahra menutup lembaran laporan pemeriksaan dan menyimpannya pada lemari file.
“Syukurlah,” Saya membuang nafas, lega rasanya, “Oiya dok…” sambung Saya.
“Hmm …?,” dokter Zahra menoleh.
“Tirai ini, Saya selalu penasaran sebenarnya apa yang ada dibalik tirai ini?.”
“Ohh.. tirai ini…, Tuan Iman sangat penasaran yaa dengan tirai ini, setiap check-up selalu saja bertanya tentang tirai,” dokter Zahra berjalan mendekati tirai, tok-tok-tok suara langkah sepatunya terdengar pelan.
SREEETTTTT… Tirai ditarik dokter Zahra.
. . . .
Kosong . . .
. . . .
Hanya sebuah pintu… Sepuluh meter dibelakang tempat Saya duduk terdapat sebuah pintu besar berwarna putih tertutup rapat.
 “Kemarilah, Tuan,” dr. Zahra berdiri disamping pintu. Saya pun beranjak dari tempat duduk lalu berjalan mendekat.
“Tunggu sebentar,” kata dr. Zahra, Saya berdiri didepan pintu dengan gemetar, jantung Saya berdetak kencang. dr. Zahra menempelkan telapak tangannya ketembok, seberkas cahaya bersinar memindai telapak tangan sang dokter.
BUFFFFF… Pintu terbuka, silau…, Saya tidak bisa melihat apa-apa.
SURPRISE !!! … Saya tersentak, beberapa orang tampak berada diruangan itu
Selamat Ulang Tahun Kami ucapkan.
            Martha membawa sebuah kue ulang tahun, ruangan ukuran enam kali enam meter itu tampak seperti sebuah kamar wanita. Dwi ada disana, ikut bernyanyi. Begitu pula Nyonya Nisa, wanita yang sedang tidak ingin Saya temui pun ada disana.
Selamat Panjang umur! Kita ‘kan doakan.
Ornamen ulang tahun dimana-mana, semuanya hanya holgram saja.
Selamat Sejahtera, sehat sentosa!!
dr. Zahra ikut bernyanyi, kami berdua melangkah maju memasuki ruangan. Aroma parfum wanita tercium jelas.
Selamat panjang umur dan bahagia!
Saya tidak tahu apakah hari ini harus bahagia atau bersedih, diluar hujan turun.
Fuuuhhhh… Saya tiup lilin dengan kencang, apinya padam seketika. Tiga buah lilin berbentuk angka berderet diatas kue… Satu… Satu… Dua.


Such a Lonely day

Bandung, 25 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar