Minggu, 17 April 2016

Bergoyang



“Iman lama banget yaa, Wii…”
Itulah pernyataan Nisa setelah 10 menit menunggu Iman di pinggir jalan tepat di samping Gang Buntu, gang masuk menuju rumahku, iya rumah Iman juga lewat situ.
“Bentar lagi paling,” Aku memandang ke atas langit.
PRAKK!!!.. PRAKK!!! PRAKKK!!! … Aku pukulkan bilah bambu yang Aku pungut dari pinggir jalan ketika habis menjemput Nisa di rumahnya, Nisa tidak akan bisa main keluar rumah tanpa Aku, kasian dia. Kasian karena tidak bisa main di luar rumah, tapi kalau sudah bisa main diluar, keadaanku juetru lebih menyedihkan dari Nisa.
“Mau Wi..?,” Nisa menyodorkan teh dalam kemasan kotak padaku.
“Makasih Nis,” Aku menolak dengan halus, malu rasanya selalu ditraktir makanan atau minuman oleh Nisa, tapi apa daya Aku kehausan, teh dalam kemasan kotak itu pun aku terima.

Sluuurrpppp… Ahhh… cairan dingin itu melaju cepat ditenggorokanku, segar rasanya. Nisa duduk di samping kananku sambil juga menikmati kemasan teh miliknya. Entah berapa uang jajan yang dia dapat setiap harinya, di sekolah saja setiap istirahat dia tidak pernah berhenti makan, kalau sedang main di luar rumah pun tangannya tidak pernah kosong dari makanan, Nisa anak semata wayang yang selalu dimanja, dia beruntung.
Sementara Aku, keluargaku sebenarnya bukan keluarga miskin, terbukti kami masih bisa makan meskipun pekerjaan papih setiap harinya cuman tidur-tiduran di ruang tamu tapi kami masih bisa makan, Mamih bisa bayar arisan, Aku masih bisa sekolah, Kak Ridwan yang pengangguran juga masih bisa hidup meskipun tinggal di Bandung kota.
Tapi entah kalau urusan uang jajan mamih pelit sekali, selalu saja itungan. Akhirnya Aku belajar hidup mandiri, Aku selalu mencari cara untuk mencari uang jajan tambahan, yaa misalkan mengambil uang receh yang Mamih simpan di gelas pajangan di lemari kayu yang ada di ruamg tengah rumah, atau merengek-rengek di depan Papih agar tidur siangnya terganggu dan dia akan segera memberiku uang supaya aku lekas pergi, yaa itulah contoh usaha yang Aku lakukan.
“Itu Iman bukan, Wii?,” Teh di kemasan kotak milikku telah habis.
Aku memicingkan mata,”Iya, itu Iman…,” peci hitam miring di kepalanya,  baju koko ungu dan celana panjang hitam itu sering dia pakai, dari kejauhan Aku bisa melihat Iman tersenyum.
Aku buang kemasan kosong teh ke tong sampah yang ada di sebelah kanan warung Bu Ika tidak jauh dari tempat Aku dan Nisa duduk. Sementara teh milik Nisa sudah habis lebih dulu, dia sedang asyik menikmati wafer coklat, dasar rakus.
“Udah lama yaa??,” Iman tersenyum kepada Nisa, Nisa masih asyik dengan wafer coklatnya.
“Ayo sana ganti baju!!, keburu terlalu sore!!,” Aku pasang tanganku di pinggang.
“Oke siap, Nek!!, tunggu sebentar,” Iman berbalik lalu berlari masuk ke Gang Buntu menuju rumahnya.
Aku masih selalu merasa jantungku berdegup kencang ketika melihat Iman,dan dengan ada Nisa di dekatku detak jantungku malah makin tidak karuan. Senang? Cemburu? Benci? Entahlah, Aku bingung bagaimana menjelaskannya.
“Emang sebenarnya kita mau kemana sih, Wii??,” bungkus wafer coklat ketiga sedang dia nikmati, Aku tidak dibagi.
“Mau ke kebun Pak Asyid, nyari tongeret,” Aku duduk kembali di dekat Nisa dan memainkan bilah bambu lagi, PRAKK!!!.. PRAKK!!! PRAKKK!!! …
“Tonggeret…,” iya, serangga hijau yang bunyinya nyaring, biasanya hinggap di pohon,”Buat apa Tonggeret?,” tanya Nisa lagi.
“Entah, buat dimasak katanya,” Aku pun bingung dengan pemikiran Iman, emang Tonggeret enak dimakan gitu?.
“Ohh…,” secepat itu Nisa bisa menerima jawabanku, bugkus wafer ke empat sudah dia habiskan, iya wafernya sudah habis tidak tidak tersisa dan Aku tidak dibagi, tidak satupun.
BRUUMMMM BUTBUTBUT BRUUUMMMMM… mobil angkutan kota warna kuning muncul dari arah kanan kami, suaranya kencang tapi kecepatannya tidak sekencang suaranya, ini jalan desa tidak banyak kendaraan yang lewat sini.
“Yuk…,” Iman sudah ada dibelakangku.
“Bentar…,” Aku penasaran dengan mobil angkot kuning itu. Akhirnya kami bertiga memandangi angkot yang melaju pelan itu.
 BRUUMMMM BRUUMMMM BRUUUUUUUUMMMM… angkot mengaum kencang, seluruh bagiannya bergetar seolah sedang menari, asap putih kebiru-biruan keluar dari knalpotnya, lalu …
Angkot itu berhenti sekitar 50 meter dari tempat Aku duduk. PRAKK… pintu angkot dibanting keras Pak sopir keluar, wajahnya tidak Aku kenal, sebagian rambutnya sudah mulai memutih, dia melirik ke kiri dan ke kanan, mencurigakan. Dia berlari tergesa-gesa ke pinggir, dia berdiri disana dibalik pohon nangka, Aku masih bisa melihat punggungnya. Dia berdiri disana beberapa menit, lalu tiba-tiba badannya bergetar sebentar, seperti bergoyang, lalu dia kembali ke angkutan kota yang dia parkir dengan santai.
BRUUUUUUUUMMMM … Angkot itu melaju pergi lewat dihadapanku.


Ingin main game.
17 April 2016




Tidak ada komentar:

Posting Komentar