Rabu, 30 Maret 2016

Parade Air Mata



Teduh dan sejuk, rimbun daun pohon jambu air memayungiku dari sengatan matahari. Aroma mawar terbawa angin merebak kesegala arah, tegel warna putih bersih yang dipadukan dengan tembok berwarna biru langit serasa makin membuat hawa sejuk makin ketara. Rumah ini rumah sahabatku, letaknya tidak jauh dari jalan raya, agak bising memang.
            “Dwi juga ikutan ?.”
            “Iya Bu Uban, sudah dibolehin sama Mamih ko,” jawabku padanya, Ibu Uban itu bukan nama sebenarnya, rambutnya hitam legam lurus terurai, tak berbeda dengan rambut Nisa. Yang beruban itu sebenarnya suaminya, Pak Uban nama panggilannya.
            “Cuman sampai jam 9 kan acaranya?,” Bu Uban meoleh kearah sahabatku, Nisa namanya.
            “Iya Bu…, euu… nanti kalau acaranya sudah selesai Nisa akan Saya antar pulang ke rumah ko,” Aku memberanikan diri berjanji, Nisa tertunduk.
            “Kasih ijin aja Bu, lagipula Nisa kan sudah gede, sudah kelas 5 SD, jangan terlalu dilarang-larang.” Tiba-tiba suara Pak Uban terdengar, rupanya dia sedang tiduran di sofa depan TV, gak kelihatan.
            “Ya sudah, hati-hati yaaa…,” Bu Uban menyelundupkan lembaran kertas berwarna hijau ke tangan Nisa, Pak Uban masih asyik menukar-nukar saluran TV, Nisa tersenyum, manis.
            Aku pun pamit pulang, Nisa ikut bersamaku, dia dalam tanggungjawabku hari ini. Nisa menggenggam erat tangan kananku, uang ditangannya sudah berpindah ke saku rok warna Abu yang dikenakannya, ini pertama kalinya aku melihat dia pakai baju atasan pink itu, baru sepertinya.
            “Nisa, Dwi…, jangan lupa jam 9 harus sudah pulang yaaa.”

Senin, 21 Maret 2016

Sungai Juga Teman, Mendidik Anak Menyukai Ikan dan Menjaga Sungai





Sungai memang memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, hal ini tidak terlepas dari kebutuhan makhluk hidup akan air. Sungai diibaratkan sebagai urat nadi kehidupan alam, sungai menjadi sumber kehidupan bagi aneka jenis makhluk hidup air, seperti berbagai jenis ikan, udang, kepiting, dan biota air lainnya.


Tulisan didepan area Air Mancur Teras Cikapundung Yang berarti
“ Ibu harus dihormati Bandung harus disanjung,
mari kita sayangi Cikapundung yang agung”

Sadar akan pentingnya pentingnya sungai dan biota air untuk kehidupan masyarakat, PicuPacu Creative Children Community mengadakan sebuah acara bertajuk “Sungai Juga Temanku” pada Minggu 20 Maret 2016 tadi pagi di Taman Teras Cikapundung, Babakan Siliwangi. Acara ini ditujukan untuk anak-anak Play Group, Taman Kanak-kanak, dan SD. Selama acara para peserta didampingi oleh orang tua dan guru serta Kakak Panitia.

Kamis, 17 Maret 2016

Kepada-Mu




Lalu dengan alasan apa Aku pergi
Beribu alasan kutulis kureka kupersiapkan
Citra cita hitam dan putih nyatanya lebih sering gelap dan kelabu

Lalu dengan alasan apa Aku berlari
Gemerlap ini mengikat hati mengekang diri terkunci
Fiktif, khayal semu senyum palsu

Lalu dengan alasan apa aku kembali
Kuketuk lagi pintu-Mu
Tidak ada tempat lain untukku kembali

Hanya Kepada-Mu




Malam yang dingin,
17 Maret 2016



*Story Behind the Poet

Rabu, 16 Maret 2016

Hujan





Menetes luruh ke bumi
Kau berawal dari lelehan awan
Lahir dari siklus abadi 
Tak berakhir tak berhenti


Kadang kau tulis suka
Hadirmu yang dinanti
Kadang kau tulis duka
Tergenang diam tak bergerak




Menanti Reda,
16 Maret 2016

Selasa, 15 Maret 2016

Balada Sepasang Kaki dan Roda-roda Angkutan Kota.





“Sebelumnya pernah kerja di bidang ini?.”
“Belum Pak, paling cuman bersih-bersih biasa di rumah.”
“Kalau misalkan ikut pendidikan dulu satu bulan hanya dikasih makan doang, bersedia tidak?.”
“Bersedia Pak!!.”
“Baiklah kalau begitu, kalau kamu keterima nanti Saya hubungi.”
“Terima kasih Pak.”
Aku tinggalkan ruang sempit itu, lesu rasanya, sepertinya kali ini pun Aku tidak akan diterima. Untuk seorang lulusan Aliyah yang minim kemampuan seperti Aku, mendapatkan kerja menjadi sesuatu yang teramat pelik, sementara berbagai lowongan pekerjaan justru mencari pekerja berpengalaman.
Sebenarnya keinginanku setelah lulus sekolah itu masuk kuliah, tetapi apa daya, Bapak yang hanya karyawan pabrik biasa tidak menyanggupi untuk membiayaiku kuliah. Mengikuti jejak Bapak masuk pabrik pun samasekali tidak ada dalam rencana hidupku, gak mau pokoknya gak mau!!. Akibatnya, 2 tahun sudah Aku menganggur. Ahh pekerjaan apapun akan Aku terima asalkan halal.
Tiba-tiba langkahku terhenti tepat di depan masjid Daarrut Tauhiid, jam di tembok luar menunjukkan pukul 10, Aku harus bergegas menuju tempat cetak foto untuk mengambil pesanan cetak fotoku tadi siang harusnya sekarang sudah selesai.

LEMPAR !!!





“Ayolaaah… Masa gitu doang nggak bisa?, yang kenceng dong….”

            “Berisik kau, Du!!.”

FFUUUUHHHHHH… Serpihan genteng pun terbang dilempar Iman.

PRAANNGGG… Meleset.

“Hahaha, nggak kena!,” Dudu joged kegirangan.

“Arggh… ,” Iman tampak kesal, kami ikut-ikutan.

Kami sedang memasuki ronde 5, pilar pendek yang tersusun dari potongan genteng masih berdiri tegak, kami harus meruntuhkannya agar ronde 5 ini dimulai. Dudu jadi ‘kucing’ yang jaga sedangkan kami berenam yang akan bersembunyi. Halaman rumah Reni cukup luas biasanya dipakai untuk garasi mobil colt bak terbuka milik Ayahnya, kami terkadang bermain disini, biasanya 15 orang lebih ikut bermain, kali ini sepi Reni tidak ada di rumah.

Senin, 14 Maret 2016

Autumn Leaves





Pagi-pagi sudah di studio, langsung menyalakan komputer masuk ke halaman Facebook, lalu Saya disuguhi sebuah video yang luar biasa di share oleh Mas Io.

Video itu memperlihatkan sekumpulan pengamen di daerah Piazza del Duomo - Florence Italy, mereka didatangi oleh seorang _sepertinya_ pelajar Asia. Kemudian mereka mulai melakukan Jam Session membawakan sebuah lagu Autumn Leaves.
Jeiman

Setelah melakukan riset singkat ternyata Autumn Leaves ini  awalnya merupakan lagu Italia pada tahun 1945 yang berjudul  "Les feuilles mortes" (artinya "The Dead Leaves"), musik nya ditulis oleh komposer berdarah Hungarian-French Joseph Kosma dan lirik oleh penulis puisi Jacques Prévert. Judul Hunggaria-nya adalah "Hulló levelek" (Falling Leaves). Yves Montand (bersama Irène Joachim) Memperkenalkan "Les feuilles mortes" dalam film Les Portes de la nuit (1946).

Sabtu, 12 Maret 2016

Keluargaku




Ketika membaca judul diatas hal yang terlintas di pikiran Saya adalah sebuah pertanyaan, Apa sebenarnya keluarga itu?. Setelah Saya coba membaca artikel di wikipedia, Saya bisa menyimpulkan bahwa keluarga itu adalah suatu unit kecil dalam masyarakat yang terhubung dan saling membutuhkan, mereka hidup dibawah satu atap. Hubungan tersebut bisa berupa hubungan darah, pernikahan, dan pengangkatan, mereka berinteraksi satu sama lain.
Lalu bagaimana dengan keluargaku?, Saya sebagai pemeran utama dalam tulisan ini akan mencoba menceritakan keluarga Saya dan segala keunikannya kepada kalian, bersiap-siaplah.

Jumat, 11 Maret 2016

Sangkuriang dan Penaklukan Jawa Barat*





Bocah kecil dekil di pinggir jalan­­, Ayahnya entah dimana Bunda telah tiada, hidup sebatangkara tanpa sanak saudara, Sangkuriang namanya. Enam bulan yang lalu dia masih duduk di kelas 5 SD, dulu. Hari ini terminal Leuwi Panjang yang menjadi tempatnya mencari ilmu, pinggiran toko kamar tidurnya, dan angkutan kota tempat dia mencari nafkah.

Lihatlah negeri kita ...
Yang subur dan kaya raya ...
Sawah ladang terhampar luas ...
Samudera biru ...

Lagu Negri Ngeri karya group band Marjinal sudah sangat dihafalnya, sepasang tangan kecilnya menjadi instrumen pengiring, suara serak seadanya modal utama meraih sesuap nasi.

Words by Je




Mamah Jeiman



" Terkadang hal sederhana justru sangat bermakna,
seperti senyuman Ibu"

Bandung, 11 Maret 2016

Selasa, 08 Maret 2016

Meningkatkan Minat Membaca Pada Remaja

            Membaca dan menulis merupakan dua aktifitas berbeda namun sulit untuk dipisahkan. Membaca adalah kegiatan meresepsi, menganalisa, dan menginterpretasi yang dilakukan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis dalam media tulisan. Sementara menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Jadi bisa disimpulkan bahwa membaca merupakan proses menyerap ilmu dari sebuah rulisan sementara menulis merupakan proses menumpahkan pemahaman kepada bentuk tulisan agar bisa dipelajari atau dipahami oleh orang lain.

            Banyak yang mengatakan bahwa minat membaca dan menulis masyarakat indonesia sangatlah kurang. Menurut kepala Badai bahasa Privinsi Jawa Barat Bapak Drs. Muh. Abdul Khak, M.Hum menegaskan bahwa hal ini tidak sepenuhnya benar, melalui wawancara telepon beliau mengatakan,"Kalau dikatakan minat membaca menurun mungkin yang menurun itu dalam konteks yang berbeda,maksudnya begini bacaan yang mana yang menurun itu?, tapi kalau untuk bacaan-bacaan yang bersifat hiburan menurut pengamatan Saya tidak menurun, tapi mungkin bacaan-bacaan yang sifatnya serius, yang bersifat keilmuan mungkin itu yang tidak terlalu menggembirakan." Hal ini berkaitan dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri, kalau dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi dengan hadirnya internet dan media sosial dimana berbagai macam artikel bisa diakses dengan cepat maka masyarakat lebih memilih internet untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka, "kalau yang dimaksud minat membaca itu membaca buku apalagi bukunya itu buku serius yaa mungkin memang menurun, tapi kalau membaca secara umum, setiap oarang  kalau di bandara dimana-mana pun selalu membaca, di tempat-tempat umum orang-orang selalu memegang hape, memegang hape itu membaca juga, walaupun bukan membaca dalam konteks bacaan portal berita tapi tetap orang-orang itu membaca."


Senin, 07 Maret 2016

Fairytale - Alexandr Rybak.





Vampir. Seperti biasa, dari sebuah ketidaksengajaan ketika Saya membuka laman youtube, tiba-tiba saja saya tersesat dan bertemu dengan Lagu ini Fairytale – Alexandr Rybak. Mari kita mulai Review by Je kali ini.
Alexander Rybak



Alexander Igorevich Rybak (Rusia: Александр Игоревич Рыбак, tr Aleksandr Igorevich Rybak.) Atau di Belarusia Alyaxandr Igaravich Rybak (Belarusia:. Аляксандр Ігаравіч Рыбак, tr Alyaksandr Iharavich Rybak; lahir 13 Mei 1986 di Byelorusia SSR, Uni Soviet) adalah seorang penyanyi dan komposer berdarah Belarusian- Norwegia, dia juga seorang pemain biola, pianis, penulis, aktor dan presenter / host *banyak banget yaa keahliannya,, bikin ngiri. Mewakili Norwegia di 2009 Eurovision Song Contest di Moskow, Rusia, Rybak memenangkan kontes dengan 387 poin dengan lagunya yang berjudul "Fairytale", sebuah lagu yang ia tulis dan compose sendiri, perhitungan ini merupakan nilai tertinggi yang pernah dicapai dalam sejarah Eurovision. Album debutnya, Fairytale, masuk cart musik di 20 di sembilan negara top Eropa, termasuk posisi No 1 di Norwegia dan Rusia *Saya sendiri belum bagaimana sistem pengitungan suara untuk acara Eurovision ini.

Selasa, 01 Maret 2016

Bulat Sempurna

­
TTTTTEEEEEEEEEETTTTTTTTTT...
TTTEEEEEEEEEETTTTTTTT...
TTTTTTTTTTEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT...

Nada sumbang terdengar di seantero Sekolah Dasar BHAKTIWINAYA 2, nada tak merdu yang selalu dinanti dan kadang dibenci. Pintu-pintu mulai terbuka, bocah-bocah berlarian kesegala arah, langit tampak ceria menyertai mereka bermain di Lapangan. Sedangkan Aku, Aku sudah sejak sepuluh menit yang lalu keluar kelas, Bu Rita menghadiahkan kepada kami jam istirahat lebih cepat.

Ga ada Dwi, ga ketemu, mungkin ga datang lagi ...”, lapor anak laki-laki itu.

“Jangan bercanda!!, Sekarang sudah hari sabtu, mana mungkin 5 hari tidak datang!!.”

“Aku sudah nunggu dari tadi, ga ada ... .“ raut wajahnya berubah layu.

Dia adalah anak laki-laki yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku, dia adalah sahaba... Eh bukan, dia adalah bocah aneh yang selalu membuat Aku selalu tersenyum dengan tingkahnya, Iman Syafa’at. Anak laki-laki yang hampir tiap hari aku marahi lalu diam-diam ku rindukan.

“Kenapa ga beli batagor saja ??.” Tiba-tiba Nisa memecahkan lamunanku dengan celetukannya, sebungkus batagor sedang dia nikmati.

 “Enek Nis makan batagor sama gorengan terus tiap istirahat, Aku kan tidak seperti kamu.”

“Betuuull.” Iman menyepakati.

“Ke warung Bu Haji aja beli ketan goreng, gimana??.”

“Tutup ... “ Iman menyanggah, singkat.

“Ke kantin aja, gimana ??,” tawar Nisa.

“Tadi kita sudah kesana kan, ga ada yang menarik.” Jawab Iman.

“Betuuull.” Giliran Aku yang menyepakati.

Yaa beli apa kek, daripada membusuk di teras, bosen... .”

“... .”

Aku tidak bisa menjawab, kekurangan nutrisi membuat otakku sedikit lambat berpikir, apalagi bocah kelas 4 dari tadi asyik bermain lompat tali didepanku membuat aku pusing, ditambah lagi anak kelas 3 sedang bermain kucing-kucingan mereka berlarian kesana kemari membuat aku semakin pening. Urgh.

“Kita kedepan aja yukk, siapa tau Mang Alit datang,” celetuk Iman.

Yuukk!!.” Aku mengamini, senyum manisku untuk ide brilianmu itu Man.

Iman memalingkan wajah, lalu berlari ke arah gerbang sekolah. Apa senyumanku tidak indah??.

“Tunggu Maaaannn!!!.” Aku mengejar dia dari belakang.

“Eh Dwi, tunggu Aku ikuutt... Dwiiiiiii !!!!.”

“Ayo cepet Nis!!.”

“Bentar... .” Nisa meraih tanganku, kami berlari beriringan.

Dia adalah Annisa Azkiyah Nur sahabatku dari kecil, kami sering bermain bersama sejak bayi katanya, kami terpisah ketika keluargaku pindah rumah, namun Bhaktiwinaya mempertemukan kami kembali, sejak itu kami selalu duduk sebangku. Tubuh kami sama-sama kurus namun badan Nisa lebih tinggi dari Aku, kulitnya putih bersih berbeda dengan aku yang kecoklatan gara-gara sering main layangan, rambut dia hitam panjang cantik bagaikan model  shampo di TV kontras dengan rambutku yang bergelombang pirang tersengat matahari. Dia itu sangat pendiam, sedikit berbicara banyak makan, hampir sempurna.

“Kita tunggu disini saja,” kata Iman sedikit memerintah, kami ikut serta saja.

Kami bertiga duduk di pinggir jalan tiga meter sebelah kanan dari gerbang utama sekolah, di tembok rendah pagar sekolah yang biasa digunakan ibu-ibu murid kelas satu ngerumpi sambil menunggu anak mereka pulang. Didepan sekolah terdapat jalan desa yang tidak terlalu ramai, jarang terlihat mobil yang lewat, paling tukang ojek yang sering lalu lalang mengantarkan penumpang, melaju pelan. Anak-anak bebas keluar masuk sekolah, kami cukup beruntung sekolah memperkenankan kami jajan di luar. Biasanya sepanjang jalan depan sekolah dipenuhi penjaja makanan dan tukang jualan mainan, kini yang tersisa hanya Mang Dadang tukang batagor dan penjual agar-agar yang tidak Aku kenal.

“Biasanya Mang Alit jualan disini.” Iman membuka pembicaraan, wajahnya menoleh ke arah barat seolah sengaja menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

“Sepertinya Mang Alit Jualan ke Kabupaten deh, kata Bapak disana sedang ada kejuaran bola voli tingkat Kabupaten, besok finalnya.” Lanjut Iman memperpanjang pembahasan.

“... .” Nisa tidak memperhatikan, dia sedang asyik menikmati permen kaki, batagornya sudah habis sejak tadi.

“Iya... ,” jawabku singkat, usaha Iman tidak berhasil.

Betul, disinilah biasanya Mang Alit jualan, di gerobak biru berbalut seng berkarat, Cilok Si Bos sebuah tulisan warna-warni terlukis pada kaca depan gerobak. Entah apa yang membuat cilok jualannya itu begitu enak, mungkin karena bentuknya yang bulat sempurna, bisa jadi. Barangkali dia memasukkan ramuan rahasia pada bumbu kacangnya agar terasa lebih lezat, mungkin. Jangan-jangan dia memasukan campuran khusus sehingga isi cilok begitu gurih dan lumer dimulut ketika dikunyah, Aku tidak mengerti. Atau dia menggunakan kecap spesial yang harganya mahal sehingga ciloknya begitu menggigit di lidah, tidak, tidak mungkin, barang seperti itu tidak mungkin bisa dia beli. Aku penasaran.

Mang Alit tidak tampan, kulitnya legam berkeringat, baju kotak-kotak kusam dibungkus rompi hitam lusuh selalu ia kenakan. Bos, itulah panggilan dia kepada semua pelanggan. Aku, Bos Uwi panggilan sayangnya untukku. Nisa, biasa dipanggil Bos Ratu. Iman, Boss Kancil, hidung Iman selalu kembang kempis kegirangan tiap kali dia dipanggil seperti itu. Semetara dia memanggil dirinya sendiri sebagai Bos Besar padahal badannya kerempeng.

Mang Alit sering bercerita kalau dia ingin punya anak yang berani seperti Aku, cantik seperti Nisa, dan pintar seperti Iman, isterinya tidak kunjung berbadan dua. Tapi sekarang jangankan cerita, beritanya pun tidak ada, lima hari sudah Mang Alit tidak kelihatan.

Jalanan mulai sepi, suara anak-anak yang tadi berkumpul di Gerobak Mang Dadang hilang senyap, motor roda dua melintas dihadapan kami tanpa suara. Sinar matahari menyengat terasa dingin di kulit, langit seakan mendung menghitam teratur. Kerikil melantunkan lagu sunyi langutanku ke angkasa, perlahan hangat mulai terasa di ujung mataku, pandanganku berputar.

“Dwii!!, lihat itu !!,” Aku terperanjat, telunjuknya Nisa mengarah ke Timur sisi lain jalan. Gerobak biru?.

“... .” Iman bangkit dan berlari seketika. Aku masih mengucek-ucek mata memastikan yang kulihat itu nyata atau ilusi.

“Itu gerobaknya kan Wi??,” Nisa mencoba mencari pengesahan.

“... .”

Dia semakin mendekat, Iya tidak salah lagi itu gerobak Mang Alit, dari kejauhan Aku bisa menegaskan bahwa itu memang gerobaknya, yakin. Penantianku terbayarkan, akan kulunasi selera makanku yang sudah berontak dari kemarin lusa, akhirnya... .

TTTTTEEEEEEEEEETTTTTTTTTT...
TTTEEEEEEEEEETTTTTTTT...
TTTTTTTTTTEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTT...



Bandung, 27 Februari 2016