Bocah kecil dekil
di pinggir jalan, Ayahnya entah dimana Bunda telah tiada, hidup sebatangkara
tanpa sanak saudara, Sangkuriang namanya. Enam bulan yang lalu dia masih duduk
di kelas 5 SD, dulu. Hari ini terminal Leuwi Panjang yang menjadi tempatnya
mencari ilmu, pinggiran toko kamar tidurnya, dan angkutan kota tempat dia
mencari nafkah.
Lihatlah negeri
kita ...
Yang subur dan
kaya raya ...
Sawah ladang
terhampar luas ...
Samudera biru ...
Lagu Negri Ngeri karya group band Marjinal sudah sangat dihafalnya, sepasang tangan kecilnya menjadi instrumen pengiring,
suara serak seadanya modal utama meraih sesuap nasi.
Tapi rataplah
negeri kita ...
Yang tinggal
hanyalah cerita ...
Cerita dan cerita,
terus cerita…
Pengangguran
merebak luas ...
Kemiskinan
merajalela ...
Pedagang kaki lima
tergusur teraniaya ...
Bocah-bocah kecil
merintih ...
melangsungkan
mimpi di jalanan ...
Buruh kerap
dihadapi penderitaan ...
Nyayian Sangkuriang
terhenti, Pak sopir tampak akan meninggalkan terminal, angkutan kotanya sudah
diparkir lama namun tak kunjung penuh terisi penumpang.
“Assalamu’alaikuum...,”
dia bungkukkan badan kecilnya, tangannya terbuka meminta iba. Seorang ibu
memberinya lima ratus rupiah, dia
balas dengan sebuah senyuman, penumpang yang lain sibuk
memperhatikan layar telepon genggam mereka masing-masing, tak peduli.
Di ujung angkutan
seorang wanita duduk termenung, Dayang Sumbi namanya, wanita yang ditakdirkan
merubah hidup Sangkuring. Wajahnya cantik pasti baik hatinya, pikir
Sangkuriang.
“Assalamualaikum
Mbaa... Mbaa...,” sangkuriang semakin membungkuk masuk ke dalam angkutan.
“Apa Mba-Mba-mba,,
sejak kapan Aku punya adik seperti kamu, NAJIS !!! ,” wanita itu memalingkan pandangannya.
Hati Sangkuriang
remuk seketika, angkutan kota pun pergi belalu, tangan Sangkuriang gemetar,
sakit rasanya diremehkan, dihinakan.
“Aku bersumpah, Aku
akan berhenti mengamen di angkutan kota !!,” dia lempar uang koin ditangannya
ke selokan, dia murka.
Benar saja,
keesokan harinya Sangkuriang tidak pergi ke terminal angkutan kota, dia pergi
ke terminal bus, dia mengamen di bus antar kota dalam provinsi.
Kini Sangkuriang
tidak pernah berdiam lama di satu kota, hari ini ada di Sukabumi lusa sudah
adai di Cianjur,
tidur di Bekasi terbangun di Depok. Di terminal dia menemuai banyak orang,
belajar banyak hal, dari mulai mencuri sepeda motor hingga mencongkel rumah
orang pernah dia lakukan, bisnis gelap kini pekerjaannya. Sangkuriang tidak
pernah lagi tidur di pinggir toko, banyak teman dan kenalan yang dimilikinya
kini, kadang dia tidur di rumah teman,dan kadang dia tidur di rumah tahanan.
Dibesarkan
dijalanan dilatih dengan kerasnya kehidupan, Sangkuring tumbuh menjadi sosok
pemuda yang tidak kenal takut tidak pernah menyerah, tidak takut mempertaruhkan
nyawa tidak takut merampas nyawa. Seperti yang terjadi seminggu yang lalu, dia
terlibat perkelahian dengan dua orang anak Sekolah Menengah Atas yang berakhir
dengan kematian salah seorang anak yang menjadi tandingannya. Tapi akhirnya dia
dibebaskan karena tidak cukup bukti.
Begitulah hari-hari
yang dia lewati setiap hari, dia
samasekali tidak menyadari sesuatu yang besar akan terjadi padanya, kehidupan Sangkuriang yang tak lebih hanya seorang preman terminal akan
berubah total.
Sore itu Sangkuriang sedang menunggu Si Tumang,
temannya yang memiliki hutang besar padanya, katanya hari ini akan memberikan
bisnis besar sebagai bayaran atas hutang-hutangnya.
“Uhuuk... uhuukkk...
uuhhhuukk...,” seorang kakek dua meter di sebelah kiri Sangkuriang tampak
sedang menunggu angkutan,
Sangkuriang duduk di pinggir toko beralaskan koran.
“Uuhuukk... uhuk...
uuuuuhuuuukkk...,” sepuluh menit berlalu tak satu pun angkutan kota yang lewat,
dan selama itu juga Si Tumang tidak juga terlihat.
“Kalo sakit ke dokter aja Kek !!.” Ganggu banget, Sangkuriang mengoceh dalam hati.
“Kakek tidak sakit,
cuman tenggorokan kering,” Si Kakek beralasan.
“Ini minum ini aja,” Sangkuriang menyerahkan botol air
mineral ditangannya kepada Si Kakek, dia malas beranjak dari tempat duduknya,
mudah-mudahan Kakek tua itu cepat pergi pikir Sangkuriang. Si Kakek pun mendekat dan segera meminum air
mineral itu sampai habis, haus rupanya. Sangkuriang hanya bisa melihat pasrah.
“Terima kasih nak,
Baru kali ini Kakek menemukan orang sebaik kamu, Kakek benar-benar tertolong,” Si kakek salah
paham, “Kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu, hubungi Kakek saja yaa.” Sebuah kartu nama disodorkan
kepada Sangkuriang, SI Kakek
tersenyum kerut diwajahnya tampak jelas.
“Haah... ??,”
Sangkuriang mengambil kartu nama itu, dia tak punya pilihan.
Sungging
Purbangkara
The School of Business and Management ITB
“Kakek seorang
dosen ??,” tanya Sangkuriang setengah meloncat dari tempat duduknya, dia begitu bersemangat, “Kek... !!.” Sangkuriang tahu sedikit bahasa Inggris meski
dia tidak lulus Sekolah Dasar.
“Hehehehe,” kakek
tersenyum, giginya tidak bersisa.
Sejak saat itulah
Sangkuriang menjadi anak didik Kakek Sungging, dipelajarinya semua jenis manajemen dari mulai manajemen
sumber daya manusia sampai manajemen produksi. Berbagai macam buku pun
dilahapnya mulai dari buku manajemen pemasaran karya Philip Kotler dan Kevin
Lane Keller sampai novel Student Hidjo karya Marco Kartodikromo. Dia begitu
menaikmati masa-masa itu, seolah sumbatan di kepalanya hilang hingga ilmu bisa
mengalir deras tak terbendung, otaknya kebanjiran.
Hari berganti bulan
berlalu tahun berselang, pemuda dekil preman terminal itu kini telah berubah
menjadi pemuda tampan rambut kelimis bertutur sopan, Pendidikan telah merubah
Sangkuriang, dua tahun lamanya, hingga saat untuk Sangkuriang pulang pun tiba.
“Apa kamu yakin mau
pergi dari tempat ini??,” kakek Sunging berkaca-kaca.
“Aku sadar selama ini
Kakek sudah merawatku dengan baik, terimakasih Kek, tapi Aku merasa inilah
waktunya untuk Aku mempraktekkan semua ilmu yang telah Kakek berikan,” Sangkuriang
bersujud dibawah kaki Kek Sungging,”Aku ingin sukses, Kek.” Sangkuriang
menengadah memandang mata si kakek berharap ijin darinya.
“Baiklah, bila
memang itu keinginanmu, Nak,” kakek mengusap kepala Sangkuriang perlahan.
“Terimakasih kek,”
Sangkuriang mencium tangan Kakek Sungging kemudian dia pamit pergi.
Kehidupan yang baru
pun memulai, Sangkuriang memilih untuk mengaplikasikan ilmu barunya di tempat
pertama kali dia mempelajari Hidup, Terminal.
“Saa... Sangkuriang,
ini beneran elu Ang??,” seperti melihat setan Si Tumang terbelalak melihat
perbedaan penampilan Sangkuriang sekarang.
“Hai Mang, apa
kabar??, lama tidak bertemu masih
botak aja nih ??, ” sangkuriang
menyalami Tumang.
“Ahh Dasar !!. Elu kesambet yaa Ang??, liat ini baju lu, mau
kemana lu?? Kondangan hahaha??,”
Tumang mengendus-endus aroma wangi yang keluar dari badan Sangkuriang.
“Udah-udah-udah,,
ceritanya nanti saja, sekarang kita bicara bisnis dulu,, Ayo ke tempat biasa,”
Sangkuriang tersenyum.
“Ayok, siapa
takut,,, ,” Tumang tertawa, giginya yang kuning terlihat rapi.
Disana, didepan
Rumah makan nasi Padang Painan Indah pinggir terminal dekat toilet umum, mereka berdua
duduk dengan sebuah rencana besar, penaklukan Jawa Barat.
Keesokan harinya
rencana penaklukan Jawa Barat pun dimulai, Sangkuriang menemui kawan-kawannya
satu persatu di tiap kota dan terminal yang tersebar di seluruh Jawa Barat.
Bisa saja Sangkuriang menghubungi mereka melalui telepon, bisa saja. Tapi ini
masalah kepercayaan, didalam bisnis ini kepercayaan yang menjadi pondasi utama.
Di setiap terminal
kini ada anak buah Sangkuriang, perlahan bisnisnya mulai besar dan namanya
mulai dikenal bahkan sampai luar Jawa Barat. Sangkuriang Si Bos Besar.
“Kita harus
bergerak!!,” Sebuah map berisi banyak lembaran file dilemparkan ke atas meja.
Sebuah kata bercetak kapital berwarna merah terlihat di sampul map, RAHASIA.
“Sangkuriang
lagi??, yang bener ajah Sumbi, sampai kapan kamu
akan mengejar dia??.”
“Jaga lidahmu, panggil
Aku Komandan besar!!. Kombes. Dayang Sumbi Rarasati,,,” Dayang Sumbi melotot, urusan
Sangkuriang adalah masalah serius baginya.
“Siap, BU!!,”
Briptu Wayung Hyang hanya bisa menurut, dia hanya bawahan.
“Lusa akan ada
pameran batu Akik di G.H. Universal Hotel lembang,” Sumbi duduk diatas meja
untuk meredakan amarahnya, Wayung membaca brosur acara yang berada didalam file,”menurut
informasi dari kenalanku di BIN, Sangkuriang akan datang di acara itu, katanya
akan ada transaksi besar disana,” Sumbi yakin.
“Apa Sangkuriang
itu bener-benar ada??, selama ini dia seperti hantu, dikejar kemana pun tidak pernah tertangkap, tidak ada bukti,, Aku mulai merasa kalo sebutan Sangkuriang Sang Raja Narkoba Jawa Barat hanya sebuah omong
kosong, sudah lima tahun kita mengejarnya, Komandan, Kita tidak dapat apa-apa,
nihil....” Wayung mencoba mengingatkan sahabatnya. Kerut di wajah Sumbi semakin
kelihatan.
“Kali ini terakhir
bagiku, Yung. Kali ini aku yakin bisa menangkap Sangkuriang, Aku yakin bisa
menangkap pembunuh adikku, Aku yakin bisa menangkap dia, Aku yakin!!,” Sumbi memegang erat tangan sahabatnya itu, matanya
berkaca-kaca.
“Kau lihat
foto-foto ini, Yung,” Wayung Hyang memperhatikan dengan seksama, “Lelaki ini
diyakini merupakan Sangkuriang,” telunjuk Sumbi mengarah ke sosok lelaki
berkepala plontos di foto itu.
“Tapi wajahnya
tidak jelas.”
“Coba kamu
perhatikan lagi, Yung... Perhatikan polanya,” pandangan Wayung kembali ke
foto-foto yang tersebar di mejanya, “Dia selalu dikelilingi 3 bodyguard, Si Rambut Gondrong, Si Kumis
Tipis dan Si Rambut Kelimis... Kenalanku belum bisa memastikan siapa identitas para
bodyguard di foto itu, tapi bila kita menemukan pola seperti ini di pameran
maka di pastikan Si Kepala Plontos itu adalah Sangkuriang.” Sumbi menyalakan sebatang rokok.
“Tapi kamu harus
janji..., kamu harus menahan diri ketika bertemu dengan Sangkuriang, kamu harus
menangkap orang itu bukan membunuhnya, janji?,” Wayung menjentikkan jari
kelingkingnya.
“Iyaaa, Aku janji deh,, Aku mengerti kok,”
Sumbi mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Wayung, sebuah perjanjian telah
dikukuhkan.
“Baiklah, siapa
saja yang mengikuti operasi ini ??.”
“Hanya kita
berdua.”
“Haahh!!.”
Dengan persiapan
yang cukup tergesa-gesa, akhirnya operasi penangkapan Sangkuriang pun dimulai.
Acara pameran batu akik sudah berjalan sejak dua jam yang lalu, ruang pameran
dipenuhi oleh para pencinta batu akik dan para orang kaya yang kurang kerjaan. Sumbi tampak berkeliling dengan
menggunakan dress merah pendek dengan
sentuhan ornamen pita kupu-kupu kecil diatas dada sebelah kirinya, dia tampak
menggoda untuk wanita seusianya. Sementara Wayung menggunakan dress panjang
berwarna hijau tua, punggungnya terbuka sengaja menarik perhatian lelaki
disana.
Satu jam berlalu
Sumbi sedang berada di tengah ruangan pameran, ketika dia membalikkan badan
tiba-tiba saja seorang laki-laki menghampirinya, Lelaki berkepala plontos yang
diikuti oleh para bodyguard-nya.
“Sii Si Kekepala Pelontos..., Si Rambubut
Gondrong..., Sii Si Kumis Tiiipis.... dan Si Raraambut Keelimis, ... Ituu,” ucap
Sumbi dalam hati tergagap-gagap, lidah Sumbi tidak bisa mengucapkan kata-kata.
Rombongan itu
berjalan perlahan melewati Sumbi.
“Tahan Sumbi,”
Wayung yang berada dikejauhan hanya bisa berteriak dalam hati juga sambil
memperhatikan tangan kanan Sumbi yang mulai menarik ujung roknya.
Sepucuk Pistol asal
Belgia FN 57 tersembunyi dibalik rok Sumbi, Si Gondrong yang melihat pistol Sumbi pun bergerak cepat
menyelamatkan atasannya.
“DOOORRR!!!.”
Peluru melesat
cepat lurus searah. Suara pistol memaksa para tamu untuk berteriak seketika, pundak si Gondrong berdarah .
“DOOORRR!!!.”
Tembakan kedua meleset, Si Kumis Tipis yang menjadi tumbal.
Para tamu pun mulai
panik mereka berlari kearah pintu masuk dan mjauhi Sumbi. Si Rambut Kelimis
menggunakan meja sebagai tameng, Wayung mau tidak mau harus ikut dalam ajang
adu tembak ini, tim securty acara
pameran pun ikut bergabung.
Peluru berterbangan
amarah Sumbi tak terkendali, Wayung yang berteriak mengingatkannya pun seolah
tak terdengar hilang tenggelam diatara teriakan-teriakan pengunjung yang
meninnggalkan ruangan, tim security terdiam
sepuluh meter di belakang Sumbi menunggu kesempatan untuk menghentikan Sumbi.
“Selamatkan Aku... !!.”
“Kamu ingin
diselamatkan??, Baiklah.”
“DOOORRR!!!.” Si
Rambut Kelimis menembak kaca jendela ruang pertemuan yang terhubnung dengan
lorong menuju Aula belakang. Melihat hal itu, Sumbi pun segera mendekat.
Si Rambut kelimis
meloncat seperti harimau yang kelaparan, tanpa ragu tanpa takut, secepat kilat
dia berlari menyelamatkan dirinya sendiri menuju Aula belakang dan berbaur
dengan keramaian, pistol ditangannya telah disembunyikan, sementara Si Rambut
Plontos telah dari tadi ia lupakan.
“Menyerahlah kau
Sangkuriang, ini adalah akhir untuk petualanganmu,”Si Kepala Plontos tidak
sempat meloncat, Sumbi mengarahkan barrel
pistolnya ke wajah Si Kepala Pelontos.
“Jangan Sumbii!!,
ingat janji kita,, penjahat itu layak untuk dapatkan hukuman berat, kematian
terlalu mudah untuk dia!!,” Wayung kebingungan, haruskah dia menembak kaki
temannya sendiri agar tidak membunuh, atau membiarkan saja.
“Tahan Mbaa, Sabar
Mbaa...,” para security lebih bingung
lagi, mereka tidak dilatih untuk keadaan seperti ini. Sirine polisi mulai
tersengar di luar Hotel.
“Kamu ingat
beberapa tahun yang lalu, dua anak SMA yang berkelahi dengan kamu,” Sumbi tidak
bisa menahan air matanya, ”anak yang kau bunuh itu adikku, dia itu asikku,
Sangkuriang !!!.”
“Tidak!!, kamu
salah paham,.. Aku bukan Sangkuriang.., Aku Ttum..,”
“DOOORRR!!!.”
****
Bandung, 09 Maret
2016
* Cerita ini dibuat tanpa maksud menghina atau merusak Cerita Sangkuriang yang Asli
Cerita ini sebuah latihan memberikan cerita yang berbeda untuk tokoh yangs sudah dikenal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar