Teduh dan
sejuk, rimbun daun pohon jambu air memayungiku dari sengatan matahari. Aroma
mawar terbawa angin merebak kesegala arah, tegel warna putih bersih yang
dipadukan dengan tembok berwarna biru langit serasa makin membuat hawa sejuk makin
ketara. Rumah ini rumah sahabatku, letaknya tidak jauh dari jalan raya, agak bising
memang.
“Dwi
juga ikutan ?.”
“Iya
Bu Uban, sudah dibolehin sama Mamih
ko,” jawabku padanya, Ibu Uban itu bukan nama sebenarnya, rambutnya hitam legam
lurus terurai, tak berbeda dengan rambut Nisa. Yang beruban itu sebenarnya
suaminya, Pak Uban nama panggilannya.
“Cuman
sampai jam 9 kan acaranya?,” Bu Uban
meoleh kearah sahabatku, Nisa namanya.
“Iya
Bu…, euu… nanti kalau acaranya sudah selesai Nisa akan Saya antar pulang ke
rumah ko,” Aku memberanikan diri berjanji,
Nisa tertunduk.
“Kasih
ijin aja Bu, lagipula Nisa kan sudah gede, sudah kelas 5 SD, jangan
terlalu dilarang-larang.” Tiba-tiba suara Pak Uban terdengar, rupanya dia
sedang tiduran di sofa depan TV, gak
kelihatan.
“Ya sudah, hati-hati yaaa…,” Bu Uban menyelundupkan lembaran kertas berwarna hijau ke
tangan Nisa, Pak Uban masih asyik menukar-nukar saluran TV, Nisa tersenyum,
manis.
Aku pun
pamit pulang, Nisa ikut bersamaku, dia dalam tanggungjawabku hari ini. Nisa
menggenggam erat tangan kananku, uang ditangannya sudah berpindah ke saku rok
warna Abu yang dikenakannya, ini pertama kalinya aku melihat dia pakai baju
atasan pink itu, baru sepertinya.
“Nisa,
Dwi…, jangan lupa jam 9 harus sudah pulang yaaa.”
* * * *
“Dapat
ijin yaa?, “ Iman memotong bambu dengan santainya. Sreekkk… kosreeekkk… kosreeekkk… Bilah bambu berdiameter 5
sentimeter dia potong menjadi 2 bagian.
“Iya dong, kan ada Aku…,” Aku tersenyum ke arah Nisa, dia membalas
senyumanku lalu kembali menikmati es kacang ditangan kanannya, esnya enak, tadi
dia mengijinkan Aku mencicipinya sedikit, pengen
lagi.
“Yaaa sudah, bambu ini mau Aku bawa ke
Kak Ajat… Nanti setelah Isya kita kumpul depan Mesjid Baeturrosyid,” Iman
tampak serius, kulitnya sekarang agak gelap, tapi masih terlihat tampan.
Melihat dia sedang berkeringat seperti itu saja sudah bisa membuat Aku
tersenyum, dia lucu.
“Nih Wi…, makasih…” Aku tersadar dari lamunanku, Iman menyerahkan gergaji
ditangannya padaku.
“Eh,
euu… iya Man… sama-sama,” Aku kikuk.
Langit
sore pun berangsur menyergap, garis oranye terlihat jelas lalu perlahan padam
menghitam. Rintik gerimis sejenak membasahi bumi menghilangkan panas seharian.
* * * *
Adzan Isya
sudah lama berkumandang, barisan shaf
sholat sudah mulai terurai, sebagian makmum sudah pulang. Seharusnya Aku ada
disana, ikut berjamaa’ah.
“Ini buat
kalian berdua,” Iman memberikan satu bilah bambu yang dia potong tadi sore
kepada kami, aku menggenggamnya dengan erat. Bilah bambu ini bukan bilah bambu
biasa, pada ujungnya ada sebuah botol berisi minyak tanah, yang terikat
kencang, seutas sumbu terlihat menjuntai didalamnya.
“Wii, Aku takut
nyasar …,” Nisa mulai merengek.
“Tena…”
“Tenaaanngg,
ada Aku…, kalau terjadi apa-apa, Aku yang akan menyelamatkan kalian.” Iman
memotong perkataanku cepat, dia sok jagoan, tengil sekali, huh!!.
“Santai aja Nis, acaranya seru kok, harusnya tahun kemarin Kamu ikut,”
Aku tersenyum coba menenangkan Nisa.
“Tapi jauh ga sih, Wii?.”
“Deket kok,” Aku coba menjelaskan, “kalau
sudah jalan mah ga kan kerasa ko,
Nis,” Iman menambahkan. Nisa terlihat lega, raut khawatir di wajahnya mulai
lenyap.
Orang-orang
mulai berdatangan, dari mulai anak kecil sampai orang dewasa ikut bergabung,
depan mesjid menjadi ramai.
“Ayoo Anak-anak
yang sudah punya bambu kumpul dulu sini!!,” suara Kak Ajat terdengar kencang, anak-anak
mulai berkumpul mendekat. Aku, Nisa dan Iman ikut mendekat.
“Ayo semuanya
kumpul-kumpul,” Kakak panitia yang lain ikut bersuara, Nisa mengenggam tanganku
erat. Iman berdiri tidak jauh dari kami.
“Assalamu’alaikum warohmatullohi
wabarokaaatuh…,” Kak Ajat membuka acara dengan lantang.
“Wa’alaikumsalam…
warohmatullohi… wabarokaaaatuh…,”anak-anak menjawab dengan kompak seperti sudah
dilatih sebelumnya.
“Baiklah anak-anak
yang Kakak cintaiii…, agar acara ini berjalan dengan lancar kalian harus patuh
sama Kakak-kakak panitia yaaa…. Itu demi keamanan dan keselamatan kaliiii….”
“Yaann….,” benar-benar kompak kan.
“Oke, kalian
harus ingat yaaa, rute nya dari sini kita jalan luruuuusss
sampai kuburan,” tangan Kak Ajat meliuk-liuk menjelaskan arah jalan.
“Hiiiiiiii…”
“Wii,
di kuburannya Aku takut, Wii.” Gengaman tangan Nisa semakin kuat, sakit.
“Ga kan apa-apa kok Nis, kita banyakan kesananya.” Aku berbisik di telinga Nisa.
“Nah,, dari kuburan kita belok kanan,
jalan terus sampai SD. BHAKTIWINAYA,” Kak Ajat melanjutkan penjelasan, “Di SD.
Kita kumpul sebentar lalu pulang lagi kesini,
acara ditutup disini, PAHAM???.”
“Pahaaaammm,”
serentak anak-anak menjawab, sementara para pemuda dan bapak-bapak diam
memperhatikan, sebagian asyik menghisap rokok.
“Pokoknya
kalian jangan lupa…. Dari sini…, ke Kuburan…, lalu SD…., lalu kembali ke Sini…”
“Okey DORA…, “ seserorang nyeletuk dari
belakang, kami tak kuasa menahan tawa.
“Yaa sudah kita mulai saja yukk,” Kak ajat tersenyum.
Acara
pun dimulai, panitia mulai bekerja, sumbu diujung bilah bambu mulai dinyalakan,
kami mulai berjalan kaki, Pawai Obor ini namanya.
Dua buah motor
sudah lebih dulu berjalan didepan kami, anak-anak mengikuti dari belakang,
sebagian memegang obor, sebagian membunyikan kentongan, Kakak panitia
mengamankan jalur perjalanan kami, lagu ‘17 Agustus’ pun berkumandang.
Besok adalah
HUT RI, iya Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, pawai obor ini adalah salah
satu bagian dari rangkaian acaranya, katanya sih sudah lama tradisi ini dilaksanakan, Aku tidak kaget.
Puluhan anak
mengikuti pawai ini, aroma minyak tanah tercium jelas, asap hitam meliuk-liuk
dari ujung api menari tertiup angin. Aku dan Dwi ada ditengah-tengah, Iman
berjalan dibelakang, janjinya untuk menjaga kami bukan sekedar candaan. Si
sebelah Barat Aku melihat titik api meliuk berarak dikejauh, sepertinya desa
lain juga mengadakan pawai obor.
Anak-anak
berjalan beriringan, tak lama kami sudah melewati kuburan, genggaman tangan
Nisa semakin erat, dia tertunduk tak bicara, Aku santai saja sambil ikut
bernyanyi, kali ini ‘Halo-halo Bandung’ yang bergema.
Dalam waktu lima
belas menit kami sudah sampai di SD. BHAKTIWINAYA, titik-titik api lain sudah
ada disana, sepertinya itu pawai obor desa sebelah yang kulihat tadi.
“Stoooppp,
semuanya stoooppp, berhentiii …,” kakak panitia memberikan perintah, anak-anak mengikuti,
mereka tak memiliki pilihan lain.
“Itu anak-anak
dari Desa Astaraja,” Iman mengagetkanku, napasnya terengah, jalanan menuju SD.
memang menajak.
“Mereka mau
apa?,” Aku penasaran, Kak ajat terlihat sedang berbicara dengan pemuda lain didepan
disana.
“Yaa pawai obor juga lah,” Iman menjawab culas. Hmmh.
“Pulang yuk Wii, sudah jam setengah sembilan,
Aku bisa kena marah Ibu kalau tidak cepat-cepat pulang,” Nisa memandangi jam
ditangannya, aduh… Aku jadi bingung. Acaranya belum selesai, kalau pulang
berdua pun apa dibolehkan oleh panitia?, lagipula ini sudah malam, apa yang
harus Aku laku…
“Ayo semuanya
jalan lagi, Ayooo…,” kakak panitia memberikan aba-aba. Para peserta berjalan
maju.
“Loh bukannya
seharusnya kita pulang?.”
“Wiii…,” Nisa
semakin erat memegang tanganku, pipinya mulai memerah, matanya berkaca-kaca.
“Tunggu
sebentar,” Iman berlari menuju Kakak Panitia yang ada di depan, anak-anak
melanjutkan perjalanan, peserta pawai dari dua desa pun mulai bersatu, Aku
tidak kenal siapa orang yang ada di kanan dan kiri ku.
Aku menoleh
kebelakang, puluhan orang menyusul, siapa mereka? peserta pawai obor semakin
banyak dalam waktu singkat.
Aku melambatkan
langkah kakiku, tapi orang dibelakangku mendesak mendorong badanku, tangan Nisa
yang ku genggam pun akhirnya ..
“Nisaa….!!,”
terlepas.
“Dwiii…!!,”
titik air mata jatuh di pipi Nisa.
Siapa mereka?
Siapa orang itu, aku tidak mengenal mereka, api obor yang meliuk sama sekali
tidak membuat wajah mereka jelas dimataku, asing. Aku lempar obor ditanganku
jatuh ke selokan, Aku memisahkan diri dari rombongan. Ratusan orang tidak
kukenal lewat dihadapan, yang kucari adalah Nisa… Nisa dimana??, pipiku mulai
hangat, Iman… kamu dimana? air mata meleleh.
Rombongan obor
pun berlalu, titik api itu mulai menjauh, kuputuskan pulang sendiri. Entah apa
yang harus Aku katakan pada Bu Uban, Aku terlanjur berjanji menjaga Nisa, dan
ternyata Aku tak bisa memegang janjiku itu.
Lemas, Aku
berjalan menyusuri jalan, lampu-lampu redup sama sekali tidak bisa menghiburku.
Jalan setapak ini biasanya Aku pakai ketika pulang sekolah bersama Nisa dan
Iman, jalur yang lebih cepat untuk pulang tapi pasti licin, tadi sore hujan.
Di kejauhan Aku
melihat satu titik api bergerak menjauh, seperti pulang ke arah kuburan. Nisa?
Apakah itu Nisa?… Aku tidak pikir panjang, Aku berlari masuk ke jalan setapak
pesawahan yang gelap, bermodal sinar lampu samar dari kejauhan Aku nekad
menyusuri jalan licin itu demi Nisa, Aku tidak ingin Nisa sampai terluka.
Aku telah
keluar dari jalan pesawahan, meluncur ke jalan desa, dan belok menuju kuburan,
kali ini nyaliku diatas angin seolah rasa takut ini dicabut hilang. Kedinginan,
kakiku basah.
Didepan sana
terlihat jelas seorang anak berambut panjang sedang berjalan, Nisa, iya itu
adalah Nisa. Tangan kanannya menggengam erat tangan anak laki-laki itu, anak
laki-laki yang membawa obor, iya anak laki-laki yang ku kenal, anak laki-laki itu
adalah Iman.
Mendung sebelum hujan.
Bandung, 26 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar