“Sebelumnya
pernah kerja di bidang ini?.”
“Belum Pak,
paling cuman bersih-bersih biasa di rumah.”
“Kalau misalkan
ikut pendidikan dulu satu bulan hanya dikasih makan doang, bersedia tidak?.”
“Bersedia Pak!!.”
“Baiklah kalau
begitu, kalau kamu keterima nanti
Saya hubungi.”
“Terima kasih
Pak.”
Aku tinggalkan
ruang sempit itu, lesu rasanya, sepertinya kali ini pun Aku tidak akan
diterima. Untuk seorang lulusan Aliyah yang minim kemampuan seperti Aku, mendapatkan
kerja menjadi sesuatu yang teramat pelik, sementara berbagai lowongan pekerjaan
justru mencari pekerja berpengalaman.
Sebenarnya
keinginanku setelah lulus sekolah itu masuk kuliah, tetapi apa daya, Bapak yang
hanya karyawan pabrik biasa tidak menyanggupi untuk membiayaiku kuliah.
Mengikuti jejak Bapak masuk pabrik pun samasekali tidak ada dalam rencana
hidupku, gak mau pokoknya gak mau!!. Akibatnya, 2 tahun sudah Aku
menganggur. Ahh pekerjaan apapun akan Aku terima asalkan halal.
Tiba-tiba
langkahku terhenti tepat di depan masjid Daarrut Tauhiid, jam di tembok luar
menunjukkan pukul 10, Aku harus bergegas menuju tempat cetak foto untuk
mengambil pesanan cetak fotoku tadi siang harusnya sekarang sudah selesai.
“Sudah jadi A?.” Aku bertanya pada si Aa pekerja
tempat cetak foto, bukan ke Aa Gym. Tempatnya kecil lebih mirip warung rokok
yang disulap menjadi tempat cetak foto, terletak di pinggir jalan, sangat
strategis.
“Aduuh, belum
Kang. Ini printer-nya macet, sedang
coba Saya betulin,” Si Aa Foto
memperlihatkan tangannya yang hitam tidak keruan karena tinta sebagai bukti
usahanya.
“Kira-kira bisa
beres jam berapa A?.” tanyaku sedikit memaksa.
“Kayaknya jam satu Kang, bentar lasgi Jum’atan,” jawabnya sambil kembali
mengecek printer fotonya.
“Oke, nanti jam
satu Saya kesini lagi.” Aku meninggalkan Si Aa Foto sendirian, dia tampak tidak
terlalu perduli.
Aku buka kembali
lembaran kecil brosur lowongan kerja yang Aku simpan di saku, lowongan kedua
yang harus Aku kejar, jauh-jauh datang ke pusat kota Bandung rugi rasanya kalau
hanya datang ke satu tempat saja. Tapi masalahnya kalau fotoku tidak juga bisa
dicetak maka kemungkinan besar Aku tidak akan bisa menghadiri tempat lowongan
kerja kedua berada, kantornya tutup pukul 2 di hari jum’at ini, Aku gelisah.
Adzan pun
berkumandang, Aku sudah di lantai dasar Mesjid Daarut tauhiid, lantai utama
sudah penuh sejak sebelum Aku datang. Sepanjang khutbah yang teringat adalah
lowongan kerja, apa yang akan ditanyakan penguji, jalur angkot mana yang harus Aku
gunakan agar bisa sampai dengan cepat dan tentu saja pekerjaan apa yang
ditawarkan oleh perusahaan ini, di brosur tidak dijelaskan interview langsung ditempat katanya, otak ini tidak mau berhenti
berpikir.
Setelah Imam
menutup shalat Aku pun salam dan meninggalkan masjid, jam di tembok menunjukkan
pukul setengah satu siang, mudah-mudahan fotoku sudah dicetak.
“Gimana A, sudah
jadi?,” tanyaku sambil mengatur nafas, lari dari masjid ke tempat cetak foto
ternyata menguras tenaga.
“Belum bisa
Kang, masih bermasalah nih, ini juga
masih banyak yang belum Saya cetak,” raut wajahnya semerawut.
“Kalau begitu Saya
cetak ditempat lain saja, soalnya
Saya butuh cepat,” hancur penantianku sia-sia
“Maaf yaa Kang.” Si Aa foto menyerahkan
negative fotoku kembali, segera Aku ambil. Aku meninggalkan Si Aa Foto
sendirian, Aku tidak terlalu perduli.
Aku segera
menaiki angkutan kota, mudah-mudahan dijalan bertemu tempat cetak foto. Benar saja,
baru juga beberapa ratus meter meninggalkan pertigaan Panorama Aku sudah
menemukan tempat cetak foto.
“Ya Alloh,
mudah-mudahan bisa cetak kilat,” do’aku dalam hati sambil berlari memasuki
studio foto. Tempatnya kecil namun terlihat bersih dengan nuansa warna putih
dan hijau dimana-mana.
“Bisa cetak foto
kilat Mba?,”jantungku berdetak kencang.
“Bisa Mas,
ukuran berapa?,” Si Mba tersenyum, kali ini Aku dipanggil Mas.
“2x3 empat, 3x4
juga empat,” jawabku sambil membaca brosur lowongan khawatir salah, negatif
foto pun Aku serahkan kepadanya.
“Semuanya jadi lima belas ribu,” selembar nota
pesanan diserahkan padaku.
“Ini Mba,”
nominal uang sesuai tagihan pun Aku berikan padanya.
“Ditunggu yaaa,” Si Mba tersenyum, Aku masih
gelisah.
Aku duduk di
kursi dekat pot bunga, entah tanaman apa yang ada didalam pot, daunnya
panjang-panjang mirip yang ada di rumahku, sejenak perhatianku teralihkan
sampai akhirnya aku melihat jam di dinding, pukul satu lebih 10 menit, Sudah
selama itu kah Aku menunggu disini?, tidak terasa.
“Mas, “ Aku
dipanggil.
“Terima kasih
Mba,” foto telah berpindah tangan.
Aku meninggalkan
tempat cetak foto dengan bahagia, setengah beban terangkat ke langit, sekarang Aku
harus segera menuju MTC Bandung wawancara untuk lowongan kedua. Beruntung
angkutan kota jurusan Kalapa-Ledeng disepanjang Jalan Setiabudhi tidak pernah
sepi. Aku segera menaiki angkutan kota, Aku
duduk di depan dekat Pak Sopir, sengaja.
“Pak, kalau mau
ke MTC Bandung yang di Soekarno-Hatta naik angkot apa yaa??,” tanyaku
memastikan jalur angkutan yang akan Aku gunakan nanti agar tidak salah jurusan.
“Ohh Metro,
masih jauh…,” Pak Sopir mulai menjelaskan satu persatu dengan terperinci angkutan mana yang harus Aku gunakan. Sepanjang
jalan Aku mengingat-ingat rute yang disarankan padaku.
Aku hanya bisa
pasrah, berpindah dari satu angkutan kota ke angkutan kota yang lain, empat
kali ganti baru bisa sampai di tempat yang dimaksud. Jalan Soekarno-Hatta
memang jalur yang sibuk, Aku cukup kesulitan untuk bisa menyeberangi jalan itu.
Blok J-2 tempat
tujuanku, Aku menyusuri tiap blok sampai hamper tersesat, entah ada berapa
ratus ruko yang tersedia disana.
Setelah puas
berputar-putar blok J-2 pun ditemukan, Aku beranikan diri untuk memasuki kantor
itu, pukul setengah empat jam di dinding. Tidak, Aku terlambat, sangat
terlambat.
Ruko yang
digunakan sebagai kantor ini ukurannya kira-kira 5x5 meter persegi, panel dari tripleks yang tinggi membagi ruangan sehingga seluruh ruangan tidak bisa kelihatan, bagian depan hanya berukuran 1x4
meter. Suara orang-orang seperti sedang mengikuti sebuah seminar terdengar dari
dalam.
“Silahkan duduk
Mas,” Seorang pekerja berdasi yang duduk di meja kayu menyambutku.
“Saya ga telat kan Pak?,” tanyaku mencoba mencari
kepastian.
“Tenang, kantor
masih buka kok. Nama Saya Rio, Saya
staff disini, Ada yang bisa Saya bantu,” tanya Si Bapak berdasi hitam itu ramah.
“Saya Ridwan, Saya
ingin melamar kerja,”jawabku langsung.
“Baiklah Mas
Ridwan, Syarat-syaratnya sudah lengkap?.”
“Ada Pak,” Aku
pun menyerahkan map lamaran yang sudah
Aku siapkan.
“Baiklah, Saya
harus ucapkan selamat,” Pak Rio tersenyum, “Dengan ini Mas Ridwan sudah 25%
diterima di perusahaan kami,” Pak Rio menyalamiku, Aku kebingungan. Lho Aku diterima?, 25%?.
“Nah, untuk
membuat Mas Ridwan naik jadi 65% diterima di perusahaan kami, Mas Ridwan harus
mengisi formulir data diri dan mengisi lembar jawaban, ada 30 pertanyaan yang
harus dijawab, semuanya pengetahuan umum kok,”
Pak Rio tersenyum lagi, “tapi pesan atasan Saya, formulir ini tidak gratis…,”
hah! Bayar?, tanyaku dalam hati.
“Dua puluh lima
ribu saja, ini untuk menguji keseriusan Mas Ridwan untuk bergabung di
perusahaan Kami,” Pak Rio tersenyum lagi, Urgh.
Beban yang tadi
telah diangkat ke langit ketika di studio foto serasa turun lagi jatuh di
pundakku, dengan bobot dua kali lipat, Aku bingung. Segera Aku periksa sisa
uang di saku, tiga puluh ribu rupiah lagi, bagaimana caranya Aku pulang.
“Saya sih tidak memaksa, semuanya kembali ke
Mas Ridwan,” Pak Rio masih saja tersenyum.
Ahh mungkin ini jalan untukku bisa mendapatkerja, lalu setelah berfikir keras …
“Siap Pak, Saya
coba,” Aku berikan uang yang diminta, uangku. Kemudian Aku isi semua pertanyan
yang ada di formulir tanpa sisa.
“Ini Pak,” Aku
menyerahkan formulir dan lembar jawaban, pertanyaannya tidak terlalu sulit Aku bisa menyelesaikan nya dalam 45 menit, Aku
yakin nilaiku bagus.
“Baiklah, Saya
harus ucapkan selamat,” Pak Rio tersenyum entah untuk ke berapa kalinya,
“dengan ini Mas Ridwan sudah 65% diterima di perusahaan kami,” Pak Rio menyalamiku
lagi, setelah ini apa? Tanyaku dalam hati.
“Nah, untuk
membuat Mas Ridwan diterima 100% di perusahaan kami, Mas Ridwan harus memilliki
salah satu produk yang dijual oleh perusahaan,” Pak Rio mengeluarkan brosur
dari laci mejanya,”ini ada tiga buah paket peralatan dapur, paket A dua ratus
ribu, paket B dua ratus lima puluh ribu, paket C tiga ratus ribu,” jelasnya,
Aku malas mendengarkan,”paket yang mana pun yang Mas Ridwan beli akan mengakibatkan
Mas Ridwan diterima diperusahaan Kami.”
“Tapi pesan
atasan Saya, peralatan dapur ini tidak boleh dijual ke orang lain,” tambahnya
lagi masih sambil tersenyum,”ini juga sebagai bukti loyalitas Mas Ridwan
sebagai calon pekerja kepada perusahaan.”
Aku terdiam,
uangku sudah habis, untuk ongkos pulang pun belum tentu cukup.
“Saya tidak
memaksa kok, kalau misalkan Mas
Ridwan mau pulang dulu, bilang ke orang tua dulu, pikir-pikir dulu, silahkan,”
dia masih saja tersenyum,”brosur ini silahkan dibawa pulang, disitu ada nomor
kantor, nanti Mas Ridwan tinggal telepon bersedia membeli paket yang mana, biar
kursi untuk Mas Ridwan Saya amankan, Saya tunggu teleponnya maksimal lusa harus
sudah ada keputusan,” dia memberikan brosur alat dapur kepadaku masih sambil
tersenyum, urght!.
“Baiklah kalau
begitu, nanti Saya hubungi secepatnya.” Jawabku sambil pamit pulang.
“Baik, Saya
tunggu kabar baiknya yaa Mas Ridwan. Hati-hati dijalan,” iya dia masih saja
tersenyum.
Senyumannya
seperti sedang berdansa ria diatas kekuranganku dan ketidakmampuanku, Ingin
rasanya ku pukul wajahnya.
Aku tinggalkan
komplek pertokoan itu dengan rasa sesak di dada, langkah ini terasa berat
menyusuri trotoar jalan, ada banyak kendaraan yang melintas tapi tak satu pun
yang bisa aku tumpangi, Aku tak berani.
Matahari mulai
melukis jingga di langit, dicampurkannya pula merah dan kuning dengan
indahnya, awan pun perlahan mengikutinya. Tunggulah
Matahari, jangan dulu ternggelam, temani Aku jangan dulu pergi, hari ini Aku
pulang jalan kaki. Mataku kelilipan.
Bandung, 12 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar