Selasa, 16 Februari 2016

Kucing dan tikus





“Man, kalau sudah makannya, cepet ganti baju, Kamu tidak akan pergi ngaji ??, lihat tuh sudah jam satu... .”

“ .... .”

“MAANN !!!, kalau Mamah sedang ngajak ngomong itu dijawab !!!”, Mamah sewot, tangannya tengah asyik memasang puluhan paku kecil di kerudung.

“Hakit ghighi Maaahhh ... “, jawab ku sambil menarik bibirku memperlihatkan gigi taring sebelah kanan atas yang sudah sejak tiga hari yang lalu goyang, gusinya mulai bengkak tidak enak rasanya.

Setiap hari sepulang sekolah dari senin sampai sabtu aku harus berangkat sekolah agama, ke Madrasah Ibtidaiyah Al-Ikhlas yang terletak di desa sebelah, masuk setengah dua siang pulang pulang jam tiga sore. Pulang pergi jalan kaki melewati rumah-rumah dan pesawahan, tiga puluh menit perjalanan. Entah berapa kilometer jauhnya, tidak pernah sempat ngitung, sepulang ngaji Aku selalu bergegas pulang karena pukul empat sore Aku harus nonton serial favoritku, Robo rider , jangan sampai kelewat.

“Hmmh ,, Ya udah ,, Mamah mau ngaji, pengajian rutin ibu-ibu hari kamis di mesjid, nanti setegah tiga Bapak pulang, kamu hati-hati jaga rumah,” tambahnya sambil memakai sandal selop kulit coklat kesukaannya. Aku diam saja sambil menghayati rasa sakit.

“Mamah pergi dulu,, Assalamu’alaikum.” Mamah menutup pintu, kerudung hitamnya berkibar-kibar.

"Wa'alaikumsalam." Jawabku dalam hati.

“YESSS !!!!.”

Ingin rasanya aku meloncat lalu joged-joged, bisa bolos ngaji itu kesempatan langka, tapi apa daya, gigiku masih sakit, akhirnya hanya bisa duduk lemas depan TV sambil menghabiskan makan siangku tempe bacem yang belum habis, enek. Apa gunanya tidak masuk ngaji kalau harus memelihara sakit ini.

* * * *

TOK .. TOK .. TOK ..

Seseorang mengetuk pintu rumah, lebih tepatnya menggedor. Gigiku ikut bergetar, ngilu.

“Assalamu’alaikuummm,,.” Suara tak asing terdengar dari balik pintu.

“Wa’alaikumsalaaammm,, masuk aja pintunya tidak dikunci !!,” malas rasanya membuka pintu.

“Imaaannn ... ,” Si Dwi tersenyum, Aku berusaha tidak menatap wajahnya lama-lama, masih ngeri rasanya.

“Lihat Aku bawa sesuatu buat Kamu... ,” sebuah kresek ukuran sedang Dwi simpan diatas meja, Dia mulai mengeluarkan isinya, susu kotak, apel hijau, roti keju, dan lima buah permen kaki, sepertinya Dia ngerampok rumah neneknya, makanan seperti itu tidak mungkin ada di rumahnya, mustahil ada.

“Mau yang mana dulu ?? Aku bukain, “ Dwi tersenyum lagi, urghh.

“Emm,, yang itu,” jawabku malas sambil menjentikkan jari telunjuk kearah susu kotak bak seorang raja. Dwi segera pergi ke dapur dengan berlari-lari kecil.

Akhir-akhir ini Dwi suka sok baik kalau sedang tidak ada siapa-siap, tapi tetap saja kasar kalau sedang ada teman-teman yang lain, bikin bingung, entah apa maunya, dasar cewek.

“Ini nh buat kamu,” segelas penuh susu disuguhkan untukku.

Sluuurrpp... ,” segera ku habiskan sebelum Si Dwi hilang baiknya. Tak sengaja ujung gelas menyenggol gigiku yang sakit, uurghh.

Udah mendingan sakit giginya ?, udah minum obat ?, kenapa ga ke PUSKESMAS sih ?,” Dwi memberikan pertanyaan bertubi-tubi tanpa memberikan kesempatan untuk Aku menjawab, bikin kesel,  gigiku makin sakit rasanya, Aku cemberut. “Siapa tau kalau sudah berobat sakitnya bisa hilang..., entar kita bisa main..., Tau gak kemaren sore Aku dapat lagi satu toples kelereng..., harusnya kamu ikutan..., makanya cepet sembuh dong,“ Dwi nyerocos.

“Aku juga kepengen cepat sembuh tapi PUSKEMAS jauh, kalau saja Aku bisa, udah aku cabut sendiri gi... .”

Aku terdiam.

“... Kenapa Man ?.”

“... .”

Entah Iblis atau malaikat yang berbisik di pikiranku, tiba-tiba saja ide itu muncul. Aku berlari menuju teras belakang tempat mesin jahit Mamah berada, sambil menahan sakit. Aku obrak-abrik keranjang benang Mamah, berbagai macam warna isinya, dan akhirnya Aku pilih benang yang helainya paling tebal, warna hitam.

Aku segera ke ruang tengah, Dwi memandangiku keheranan.

“Kamu kenapa sih, Man ??“, Dwi bertanya tak kuhiraukan.

Aku berlari menuju kamar utama, Aku gunting beberapa helai benang, Aku tumpuk dan disatukan menjadi helai benang yang lebih tebal, lebih mirip seutas tali. Di depan cermin perlahan Aku ikat gigi taringku dengan salah satu ujung benang, sakit rasanya tapi Aku tahan, mataku berkaca-kaca. Setelah itu Aku hampiri Dwi, benang menjuntai di mulutku.

“Ikuti Aku,“ jawabku singkat, Dwi bergegas. Kami berdua menuju ruang tamu. Aku ikatkan sisi lain benang ke gagang pintu, erat.

“Kamu mau ngapain sih?,” Dwi masih penasaran.

“Kamu tau Tom ??, Tom and Jerry??”, Dwi mengangguk. “Aku pernah lihat Tom mencabut gigi dengan cara seperti ini.”

“Kalau Aku bilang dorong, maka Kamu harus mendorong pintu ini sekeras-kerasnya!!”, tambahku.

Emang bakal berhasil?”, Dwi heran.

“... ,” Aku terdiam sebenarnya tidak yakin yang Aku lihat itu Si Tom atau bukan.

Tapi Aku sudah bosan dengan sakit ini, makan apapun jadi tidak enak, susah tidur, suara keras membuatnya makin terasa sakit. Semua serba salah, banyak gerak terasa sakit, diam pun tetap saja sakit, uurghh, CUKUP !!!. Aku harus melakukannya sekarang, mungkin ini satu-satunya cara agar sembuh, menunggu mamah atau Bapa membawaku PUSKESMAS bukan pilihan tepat, entah kapan. Aku harus melakukannya sekarang, nekad.

Waktu seakan lambat berjalan, Aku bisa merasakan detik jarum jam berputar. Seekor lalat terbang memutar dan hinggap di kursi. Debu-debu bertebaran. Aku menahan nafas, gusiku berdeyut seirama dengan detak jantung, DUGG-DUGG,,, DUGG-DUGG,,, DUGG-DUGG,,, . Aku memandang tajam kearah Dwi, Aku mengangguk perlahan. Dwi pun mengangguk pelan.


“DORONG !!!!.







Bandung, 16 Februari 2016

2 komentar: