Selasa, 23 Februari 2016

Bukan Ayahku






Langit begitu cerah siang ini, awan hitam yang kemarin menganugerahkan hujan kepada alam seakan telah diusir dari cakrawala, lengang, hanya satu-dua layang-layang tampak berlarian menghiasi angkasa berkejaran mereka berdansa dengan indahnya. Mentari yang tak lelah berpendar ceria perlahan-lahan semakin merangkul Barat. Peluhku bercucuan ringan ketika ang ...

“Dwwiiiii ... ,“

“ ... .“

Peluhku bercucuan ringan ketika angin bertiup lambat menerpa wajahku, sejuk. Dedaunan kering gontai berjatuhan ke bumi, debu berhamburan. Sayup-sayup dikejauhan terdengar suara memanggil namaku pelan, Aku tak yakin. Kupejamkan mata sesat melupakan se ...

“DWI HANDAYANI RATNASARI !!!,“ Aku tersentak lamunan buyar sudah, “kalau dipanggil tuh nyaut,, Si Papih manggil-manggil dari tadi !!” matanya melotot. Dia adalah ibuku, seorang yang ingin dipanggil Mamih.

“Iya Maakk, maaf tadi tidak kedengeran,“ kuhadiahkan senyum manisku agar amarahnya mereda.

“Emak-emak-emak,, MAMIH !!.” Hmm, sudah ku bilang kan ?.

Ku langkahkan kaki segera menuju ruang tamu singgasana dimana Papih biasa menggeletak menghabiskan waktu.


“Iya ada apa, Bah ??.”

“Abah-abah-abah ,, PAPIH !!,” matanya melotot, lebih bulat daripada mata Mamih.

“Hehehe, iya Pih, ada apa manggil-mangil Dwi?,“ kembali ku hadiahkan senyum manisku, obral bersar-besaran.

“Ini, belikan Papih rokok ke warung Ceu Ika,” selembar uang dua puluh ribu menari-nari didepan mataku, secepat kilat lembaran itu berpindah tangan ke genggamanku.
“Siap Boss !!,” Aku mempersembahkan penghormatan ala Paskibra di TV, kembali ku hadiahkan senyum manisku, hari ini aku umbar.

Dia adalah Ayahku, Dia sangat ingin dipanggil Papih mungkin agar serasi dengan Ibu yang ingin dipanggil Mamih, bisa jadi.

Aku berlari ke teras, kugunakan alas kaki pink bergambar Hello Kitty yang Aku benci. Sebenarnya ingin Aku bakar saja sandal ini, tapi sandal ini hadiah dari Mamih ketika perayaan hari lahir ku, tak tega rasanya.

Aku pun berangkat berjalan agak cepat sambil kugesekkan sendal ke tanah, aku seret sengaja agar sandalnya cepat rusak. Mudah-mudahan diganti dengan sandal Robo RiderAamiin.

Aku pelankan langkah ku ketika melewati rumah anak itu, bocah aneh yang selalu membuat Aku selalu tersenyum dengan tingkahnya. Setiap hari Aku harus selalu melewati rumahnya, karena gang depan rumah anak laki-laki  itu adalah jalur akses satu-satunya yang menghubungkan rumahku dengan jalan raya, apa boleh buat, hatiku bahagia.

Rumahnya itu belum bisa dikatakan tuntas, beberapa bagian masih belum sepenuhnya rampung, tapi sepertinya sengaja dihentikan karena keterbatasan biaya. Dua buah pilar besar didepan rumah tampak setengah jadi, temboknya dibalut cat warna putih kumal, lebih cocok dipanggil abu-abu, beberapa bagian tembok mulai retak seperti sawah kering di musim kemarau, gentengnya gelap diselimuti lumut, menyedihkan. Sekeliling rumah dipenuhi pot bunga beraneka warna dan jenis, mirip hutan lindung.

Mataku mulai memburu sosok anak itu dengan seksama, tidak ada... Anak itu tidak ada dirumah. Lekas ku lanjutkan tugasku, hatiku sedikit sedih.

“Beliiii ... .”

Aku di depan warung Ceu Ika, sebuah bangunan kokoh yang usianya lebih tua dari Aku tapi nyata terurus dengan taman kecil penuh bunga terawat tampak indah. Letak warung itu disamping jalan sehingga banyak orang belanja disana. Dibagian depan dipenuhi berbagai jajanan murah, enak dan gurih, SYURGA.

“Yaa, mau beli apa Neng ?,” Bukan Ceu Ika yang menjawab, wanita ini sepertinya anaknya. Aku serahkan lembaran uang digenggamanku padanya.

Garpit-nya satu bungkus, Teh”. Dia segera mengambil pesananku.

“Apa lagi ?.”

Ciki-nya dua.”

“Lima ratus lagi mau dibeliin apa ? permen aja?.”

“Iya Teh, permen.”

Sebuah kresek pink tembus pandang penuh dengan pesananku pun disodorkan, Aku menyambut nya dengan gembira bergumam lagu Melly Goeslaw kesukaanku sambil berlalu meningalkan warung itu.

“Dwi ...!.” Anak dekil itu memanggil namaku, beberapa lobang kecil menganga terlihat pada kaos kuning nya yang kusam. Dua orang anak yang tak kukenal tampak berdiri dibelakangnya, jadi jumlah mereka bertiga.

“Apa Cep ?.” Iya itu Aku memanggil nama Anak dekil itu, namanya Cecep.

“Adu kelereng yuk!, minggu lalu aku tidak terlalu serius tandingnya, sekarang Aku sudah siap melawan kamu!.”

“Apa kamu yakin?,” ejek ku, Cecep minggu lalu aku bantai habis, kelerengnya tak tersisa. Sepertinya dia dendam.

“Pasti donk, ini teman-temanku juga mau ikutan”.

“Kapan ?.”

“Sekarang yuk!.”

“Sekarang?, gak bisa euyy Aku lagi sibuk nih, besok ajah gimana ?,” tawar ku.

Yaudah, besok jam empat sore di Lapang Kebon Awi, Gimana ?.”

“Aku boleh bawa teman juga ?,” tanya ku, Cecep tampak berfikir sebentar.

Yaudah bawa temanmu, ga apa-apa.”

“Oke. “ Ku angkat jempolku.

Aku balikan badan menuju gang untuk mengakhiri perjanjian duel.

“Eh kamu belanja apa, Dwi?. Rokok?? Kamu merokok ?.“ Celetuk Cecep.

“Gila, Bapaknya pemabuk anaknya perokok.” Temannya menimpali

“Hahahahahaha.” Bahagia sekali mereka menertawakanku.

Aku rendahkan badanku mengambil sebongkah batu yang ada ditanah, ku gengam erat, kupandangi mereka penuh amarah.

“Waahh Dia marah !!. Hahahaha.”

“Awas Cep, nanti kena sambit !!. Hahahaha.”

Mereka berhamburan sambil tidak berhenti tertawa.

“Jangan lupa besok sore, Dwi. Hahahaha.“

Ingin rasanya kupecahkan kepala mereka satu per satu, sering sekali ada yang mengolok-olok Aku karena Papihku yang pemabuk. Papih memang pemalas tapi Dia bukan orang jahat, Papih sebenarnya orang yang baik hati. Saking baiknya, Papih tidak pernah menolak ketika diajak minum-minum oleh Somad di POSKAMLING setiap giliran jaga keamanan kampung, yang Jahat itu Somad, yang harusnya ditertawakan itu Somad. Ggggrrr.

Aku murka, lihat saja besok, tidak akan kusisakan kelereng mereka satupun.

Aku berjalan pulang pelan, batu ditangan ku lempar jauh semoga tidak kena orang. Aku tarik nafas panjang mencoba menenangkan detak jantungku yang tak teratur. Rumah anak laki-laki itu masih disana, tenang sepi seperti kuburan, mataku berair.





Bandung, 23 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar