“Iman lama banget
yaa, Wii…”
Itulah pernyataan
Nisa setelah 10 menit menunggu Iman di pinggir jalan tepat di samping Gang
Buntu, gang masuk menuju rumahku, iya rumah Iman juga lewat situ.
“Bentar lagi
paling,” Aku memandang ke atas langit.
PRAKK!!!..
PRAKK!!! PRAKKK!!! … Aku pukulkan bilah bambu yang Aku pungut dari pinggir
jalan ketika habis menjemput Nisa di rumahnya, Nisa tidak akan bisa main keluar
rumah tanpa Aku, kasian dia. Kasian karena tidak bisa main di luar rumah, tapi
kalau sudah bisa main diluar, keadaanku juetru lebih menyedihkan dari Nisa.
“Mau Wi..?,” Nisa
menyodorkan teh dalam kemasan kotak padaku.
“Makasih Nis,” Aku
menolak dengan halus, malu rasanya selalu ditraktir makanan atau minuman oleh Nisa,
tapi apa daya Aku kehausan, teh dalam kemasan kotak itu pun aku terima.
Sluuurrpppp… Ahhh…
cairan dingin itu melaju cepat ditenggorokanku, segar rasanya. Nisa duduk di
samping kananku sambil juga menikmati kemasan teh miliknya. Entah berapa uang
jajan yang dia dapat setiap harinya, di sekolah saja setiap istirahat dia tidak
pernah berhenti makan, kalau sedang main di luar rumah pun tangannya tidak pernah
kosong dari makanan, Nisa anak semata wayang yang selalu dimanja, dia
beruntung.
Sementara Aku,
keluargaku sebenarnya bukan keluarga miskin, terbukti kami masih bisa makan
meskipun pekerjaan papih setiap harinya cuman tidur-tiduran di ruang tamu tapi kami
masih bisa makan, Mamih bisa bayar arisan, Aku masih bisa sekolah, Kak Ridwan
yang pengangguran juga masih bisa hidup meskipun tinggal di Bandung kota.
Tapi entah kalau
urusan uang jajan mamih pelit sekali, selalu saja itungan. Akhirnya Aku belajar hidup mandiri, Aku selalu mencari
cara untuk mencari uang jajan tambahan, yaa
misalkan mengambil uang receh yang Mamih simpan di gelas pajangan di lemari
kayu yang ada di ruamg tengah rumah, atau merengek-rengek di depan Papih agar
tidur siangnya terganggu dan dia akan segera memberiku uang supaya aku lekas
pergi, yaa itulah contoh usaha yang Aku lakukan.
“Itu Iman bukan,
Wii?,” Teh di kemasan kotak milikku telah habis.
Aku memicingkan
mata,”Iya, itu Iman…,” peci hitam miring di kepalanya, baju koko ungu dan celana panjang hitam itu
sering dia pakai, dari kejauhan Aku bisa melihat Iman tersenyum.
Aku buang kemasan
kosong teh ke tong sampah yang ada di sebelah kanan warung Bu Ika tidak jauh
dari tempat Aku dan Nisa duduk. Sementara teh milik Nisa sudah habis lebih
dulu, dia sedang asyik menikmati wafer coklat, dasar rakus.
“Udah lama yaa??,”
Iman tersenyum kepada Nisa, Nisa masih asyik dengan wafer coklatnya.
“Ayo sana ganti
baju!!, keburu terlalu sore!!,” Aku pasang tanganku di pinggang.
“Oke siap, Nek!!,
tunggu sebentar,” Iman berbalik lalu berlari masuk ke Gang Buntu menuju
rumahnya.
Aku masih selalu
merasa jantungku berdegup kencang ketika melihat Iman,dan dengan ada Nisa di
dekatku detak jantungku malah makin tidak karuan. Senang? Cemburu? Benci? Entahlah,
Aku bingung bagaimana menjelaskannya.
“Emang sebenarnya
kita mau kemana sih, Wii??,” bungkus wafer coklat ketiga sedang dia nikmati,
Aku tidak dibagi.
“Mau ke kebun Pak
Asyid, nyari tongeret,” Aku duduk kembali di dekat Nisa dan memainkan bilah
bambu lagi, PRAKK!!!.. PRAKK!!! PRAKKK!!! …
“Tonggeret…,” iya,
serangga hijau yang bunyinya nyaring, biasanya hinggap di pohon,”Buat apa Tonggeret?,”
tanya Nisa lagi.
“Entah, buat
dimasak katanya,” Aku pun bingung dengan pemikiran Iman, emang Tonggeret enak
dimakan gitu?.
“Ohh…,” secepat itu
Nisa bisa menerima jawabanku, bugkus wafer ke empat sudah dia habiskan, iya
wafernya sudah habis tidak tidak tersisa dan Aku tidak dibagi, tidak satupun.
BRUUMMMM BUTBUTBUT
BRUUUMMMMM… mobil angkutan kota warna kuning muncul dari arah kanan kami,
suaranya kencang tapi kecepatannya tidak sekencang suaranya, ini jalan desa
tidak banyak kendaraan yang lewat sini.
“Yuk…,” Iman sudah
ada dibelakangku.
“Bentar…,” Aku
penasaran dengan mobil angkot kuning itu. Akhirnya kami bertiga memandangi
angkot yang melaju pelan itu.
BRUUMMMM BRUUMMMM BRUUUUUUUUMMMM… angkot
mengaum kencang, seluruh bagiannya bergetar seolah sedang menari, asap putih
kebiru-biruan keluar dari knalpotnya, lalu …
…
Angkot itu
berhenti sekitar 50 meter dari tempat Aku duduk. PRAKK… pintu angkot dibanting
keras Pak sopir keluar, wajahnya tidak Aku kenal, sebagian rambutnya sudah
mulai memutih, dia melirik ke kiri dan ke kanan, mencurigakan. Dia berlari
tergesa-gesa ke pinggir, dia berdiri disana dibalik pohon nangka, Aku masih
bisa melihat punggungnya. Dia berdiri disana beberapa menit, lalu tiba-tiba badannya
bergetar sebentar, seperti bergoyang, lalu dia kembali ke angkutan kota yang
dia parkir dengan santai.
BRUUUUUUUUMMMM …
Angkot itu melaju pergi lewat dihadapanku.
Ingin main game.
17 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar