Angin masih saja
sepoi bertiup lembut menari memainkan ujung rambutku dari jendela besar yang
menghadap ke Timur disamping kanan Saya yang sengaja dibiarkan terbuka. Langit
temaram tergambar, pagi yang sejuk kelabu. Sayup-sayup tedengar lagu Two Wounded Bird diputar.
“Sarapan sudah Siap, roti isi telur dan segelas susu
low fat. Hari ini, 25 Maret 2099, Suhu udara diluar 15,8 Celcius, pukul 3 sore diramalkan
kan terjadi hujan.”
“Lalu…?.” Saya
duduk di ruang tengah rumah dengan santai.
“Anda memiliki 13 pesan dari Nona Dwi yang belum
dibaca.”
“Apa katanya?,”
tanya Saya yang tengah asyik mengeser-geser halaman berita hologram, meja
mekanis bergeser perlahan mendekat menyajikan sarapan untuk Saya.
“Secara umum Nona Dwi mengingatkan Anda agar jangan
sampai lupa untuk general check-up kesehatan Anda hari ini.”
“Okay,
tandai sudah dibaca.”
“Seluruh pesan
sudah dibaca….”
“Lalu
apalagi, Daisy?,” tanya Saya sambil menikmati roti isi telur sarapan pagi yang
sudah disiapkan Daisy, aroma bawang putih meretas di gigitan pertama.
“Hari ini Anda
memiliki janji untuk general check-up di R.S Premier Hasan Sadikin pada pukul
10, lalu pertemuan dengan Nyonya Nisa dari Channel 8 di Gundam CafĂ© – Grand
Novotel.”
“Hapus janji dengan Nisa, lalu kirim pesan permohonan
maaf Saya tidak bisa hadir… bilang saja mendadak ada yang harus Saya kerjakan
di Lab,” malas rasanya harus bertemu dengan nenek tua itu, pertanyaan dari
channel 8 selalu saja sama, bagaimana kadaan tubuh Anda?, membosankan, “ Oh iya
Daisy, jangan lupa tulis juga permintaan untuk pengaturan ulang pertemuan,”
siapa tahu besok lusa semangat bertemu dengan dia muncul.
“Baik…, agenda
dihapus…, pesan berhasil dikirim.”
Daisy adalah sebuah Personal
Intelligence Assistant (PAP) yang
dikembangkan oleh Google sejak 30 tahun yang lalu, beruntung Saya bisa memiliki
versi terakhirnya.
“Ada lagi,
Daisy?.” tanya Saya sambil beranjak dari tempat duduk
“Saya sarankan Anda menggunakan Mantel, diluar sangat
dingin, Tuan.”
“Baiklah, kalau
begitu Ayo kita berangkat.” mantel tebal warna hitam segera Saya gunakan.
Pintu kaca depan
rumah terbuka secara otomatis, Saya berjalan menyusuri tangga batu granit dan
melangkah menuju pinggir jalan tempat dimana MiniCars Saya telah menunggu. Wikk-wikk-wikk, perlahan pintunya
terbuka hanya dua kursi yang tersedia, Saya duduk dibelakang kemudi.
“Selamat siang Tuan.” Daisy sudah terhubung dengan perangkat Minicars dengan cepat.
“Okay
Daisy, ambil alih kemudi, bawa Saya ke R.S Premier Hasan Sadikin.” Saya
kencangkan sabuk pengaman, kali ini Lagu Lonely
day dari System of a down yang
diputar.
“Perintah
segera diproses.”
Minicars pun melaju sedang dijalanan
lalu perlahan melayang dan terbang, Minicars
sudah banyak berseliweran di langit
Bandung-DC, mobil _semi pesawat_ listrik
ramah lingkungan ini berhasil merubah wajah kota.
Minicars memasuki jalur Flyover 005, Saya menoleh ke sebelah
kanan, di ketinggian 50 meter Saya bisa melihat jelas wilayah Taman Kota, ratusan
jenis bunga beraneka warna terawat dengan baik disana seolah mempertegas bahwa
Bandung-DC ini adalah Kota Kembang. Saya harus menyempatkan main kesana kalau
ada waktu luang.
“Kita telah sampai, Tuan,” pintu Minicars
bergeser perlahan terbuka, R.S Premier Hasan Sadikin tidak terlihat berseri
seperti biasanya, bangunan rumah sakit berdiri angkuh tampak pucat tidak
tersinari matahari, angin dingin kembali bertiup membelai pipi Saya.
“Selamat
datang Tuan Iman,” DigiNurse tersenyum, Saya melangkah keluar, kendali minicars segera diambil alih oleh sistem
parkir Rumah Sakit, sementara Daisy secara otomatis tersambung ke Jam tangan di
tangan kiri Saya. Saya berbaring di FloBed,
tempat tidur khusus milik Rumah Sakit.
FloBed melayang perlahan dan membawa
Saya menuju lift, Martha Sang DigiNurse
mengikuti dari belakang. Lift membawa Saya ke lantai 40, DigiNurse menanggalkan
pakaian Saya satu persatu, dan menggantinya dengan pakaian pasien. Dingin,
kulit DigiNurse itu dingin.
“Selamat
datang Tuan Iman…, Bagaimana… Apa hari ini sudah siap untuk Check-up?,” wanita
itu tersenyum, giginya berderet rapi.
“Selalu siap,
Dok.”Saya membalas senyumannya.
“Baik, sebentar yaaa.” rambut ikalnya disanggul rapi,
usianya sudah 50 tahun lebih tapi masih terlihat muda, dr. Zahra namanya.
Ruangan prakteknya
ini masih tidak berubah meskipun telah beratus kali Saya mengunjunginya, di
sebelah kanan pintu terdapat meja besar tempat super computer beserta puluhan alat lainnya tertata rapi disana,
tabung Examiner berukuran besar masih
terbaring di samping meja, tipe lama telah diganti dengan Type 44B, yang paling
terbaru. Tirai biru menjuntai membelah ruangan menjadi dua, entah apa yang ada
dibalik tirai itu, Saya masih selalu penasaran.
FloBed
mulai membawa Saya masuk kedalam tabung Examiner,
pintunya tertutup, perlahan hangat mulai terasa, sayup terdengar lagu Lonely day dari System of a down lagi, Saya memejamkan mata. Cahaya warna warni
menyelimuti tubuh.
* * * *
Januari 2019
Saya memutuskan keluar dari tempat kerja dan memulai usaha sendiri. Berkali
gagal, empat kali bangkrut dalam kurun waktu enam tahun. Kehilangan tempat
tinggal, kehilangan istri dan kehilangan tempat bersandar.
Sepuluh tahun
kemudian jerih payah Saya mulai membuahkan hasil, usaha restoran Saya mulai
menjamur, tidak hanya di Indonesia bahkan sampai ke Eropa dan Timur Tengah. Savety, merek dagang yang Saya usung
dikenal di seluruh dunia. Semua yang tidak pernah Saya dapat akhirnya bisa Saya
raih.
Tapi hal itu
tidak berlangsung lama, 3 tahun kemudian kepala Saya mulai diserang pusing luar
biasa, lalu penciuman dan penglihatan Saya mulai terganggu, aktifitas biasa
sehari-hari mulai merepotkan, Saya kalut. Lalu bencana besar itu pun
datang, dokter memfonis Saya dengan
penyakit kanker otak stadium 3, waktu Saya tidak banyak.
Kerajaan Saya
mulai hancur, perlahan tabungan Saya habiskan untuk biaya pengobatan, hingga
akhirnya perusahaan yang telah dibangun bertahun-tahun pun harus Saya jual,
Saya bangkrut lagi.
“Aku bisa
menolong Kamu, Man,” seorang teman menelepon Saya malam itu.
“Apa Kamu yakin,
Dwi!!!,” Saya tidak percaya penyakit ini bisa disembuhkan.
“50-50…
Kemungkinan keberhasilannya adalah 50-50. Percobaan ini belum pernah berhasil
diujicobakan pada manusia, tapi untuk versi terbaru ini Aku yakin bisa
berhasil.” Prof. Dwi Handayani Ratnasari seorang ahli genetika, teman
kecil Saya.
“Tak apa,… hasilnya tidak masalah, karena pada
akhirnya Saya akan mati juga,… Saya hanya ingin berusaha sembuh!!!.” Saya putus asa.
“Jepang…,
datanglah ke Jepang….”
* * * *
“Bagaimana Dok,
dengan hasil check-up Saya?,” dr.
Zahra tampak serius meneliti hasil laporan pemeriksaan.
“Bagus…,
Sepertinya hasil rekayasa genetik prof. Dwi masih bertahan ditubuh Anda, darah
putih Anda dari hari kehari bekerja dengan sangat baik,” dokter zahra membuka
halaman demihalaman laporan dengan seksama, “Hmmm… Saya melihat ada
pengencangan di otot Triceps,” dokter membetulkan kacamatanya yang melorot.
“Akhir-akhir ini Tuan Iman memang sedang sering olah raga,” Daisy tiba-tiba ikut berbicara.
“Ahh Kamu terlalu berlebihan, Daisy.”
Saya tersenyum kepada dokter Zahra.
“Maaf, Saya sudah lancang,” Daisy berkata, dokter Zahra malah ikut tersenyum dengan Saya.
“Ya… Selamat, Anda masih sehat
seperti pemuda usia 25 tahun, ini sangat langka,” dr. Zahra menutup lembaran laporan
pemeriksaan dan menyimpannya pada lemari file.
“Syukurlah,” Saya membuang nafas,
lega rasanya, “Oiya dok…” sambung Saya.
“Hmm …?,” dokter Zahra menoleh.
“Tirai ini, Saya selalu penasaran
sebenarnya apa yang ada dibalik tirai ini?.”
“Ohh.. tirai ini…, Tuan Iman sangat
penasaran yaa dengan tirai ini,
setiap check-up selalu saja bertanya
tentang tirai,” dokter Zahra berjalan mendekati tirai, tok-tok-tok suara
langkah sepatunya terdengar pelan.
SREEETTTTT… Tirai ditarik dokter
Zahra.
. . . .
Kosong . . .
. . . .
Hanya sebuah pintu… Sepuluh meter
dibelakang tempat Saya duduk terdapat sebuah pintu besar berwarna putih
tertutup rapat.
“Kemarilah, Tuan,” dr. Zahra berdiri disamping
pintu. Saya pun beranjak dari tempat duduk lalu berjalan mendekat.
“Tunggu sebentar,” kata dr. Zahra,
Saya berdiri didepan pintu dengan gemetar, jantung Saya berdetak kencang. dr.
Zahra menempelkan telapak tangannya ketembok, seberkas cahaya bersinar memindai
telapak tangan sang dokter.
BUFFFFF… Pintu terbuka, silau…,
Saya tidak bisa melihat apa-apa.
SURPRISE !!! … Saya tersentak,
beberapa orang tampak berada diruangan itu
Selamat Ulang Tahun Kami ucapkan.
Martha membawa sebuah kue ulang
tahun, ruangan ukuran enam kali enam meter itu tampak seperti sebuah kamar
wanita. Dwi ada disana, ikut bernyanyi. Begitu pula Nyonya Nisa, wanita yang
sedang tidak ingin Saya temui pun ada disana.
Selamat Panjang umur!
Kita ‘kan doakan.
Ornamen ulang tahun dimana-mana, semuanya hanya holgram saja.
Selamat Sejahtera,
sehat sentosa!!
dr. Zahra ikut bernyanyi, kami berdua melangkah maju memasuki ruangan.
Aroma parfum wanita tercium jelas.
Selamat panjang umur
dan bahagia!
Saya tidak tahu apakah
hari ini harus bahagia atau bersedih, diluar hujan turun.
Fuuuhhhh… Saya
tiup lilin dengan kencang, apinya padam seketika. Tiga buah lilin berbentuk
angka berderet diatas kue… Satu… Satu… Dua.
Such a Lonely day
Bandung, 25
Maret 2016