Kabut
Putih? Atau
kuning?... entahlah, cahaya itu terlalu terang menusuk mata. Berdirikah?
Tertidurkah ?, saya berusaha memejamkan mata, tapi tidak bisa. Ujung jari ini
pun tidak bisa bergerak. Tangan? Kaki? Kalian kemana? Saya ada dimana?.
Samar, bentangan
kain berkibar di kejauhan, pink? atau oranye? Saya tidak bisa membedakannya.
Tidak… itu kain merah, mataku mulai bisa melihat dengan jelas. Dia berdiri di
sana, seseorang dengan jubah berwarna merah. dia menoleh, bulu matanya terlihat
lentik, wajahnya tertutup kain.
“Hei,” Saya
berusaha memanggil tapi tidak bisa bersuara. Dia membalikkan badan, lalu
berlari menjauh.
“Tunggu !!,”
suara Saya hilang.
Saya mengejarnya
tapi kaki ini seperti tidak bisa berpijak. Apakah… Apakah Saya mati??.
***
“Kal… Kaaal…,”
cahaya remang dikegelapan, seseorang memanggil. Ibu?.
Semuanya masih terlihat buram,
udara dingin mendarat di pipi.
“Dokter!!..
Haik… su…,” ngiiiiinnngggg, “…ngun,
Dokter!!” ngiiiiinnngggg ...
Udara hangat berlarian dari ujung
kaki menjalar hingga ke kepala, badan terasa begitu berat. Ngiiiiinnngggg… suara itu terus berputar-putar di kepalaku.
“Kau baik-baik
saja kan, nak?,” lelaki itu membuka alat yang menutupi kepala Saya,
sekarang Saya bisa melihat lebih jelas.
Lelaki itu
dihadapan Saya, jari tangan kirinya membuka kelopak mata Saya, sementara tangan
kanannya memegang benda menyala terang tepat di depan mata Saya, dia gerakkan
dari kiri ke kanan, silau.
“Bagaimana
keadaan temanku?? Dia baik-baik saja kan, Dok ??” anak itu memegang tangan
kanan Saya, bibirnya tersenyum tapi ada seperti air di matanya, rambutnya ikal
kecoklatan, dia seperti Kevin, tidak… dia memang Kevin.
“Tenang dulu,
Vin,” lelaki itu melepaskan pegangan tangannya dari mata Saya, “Kamu ingat nama
kamu siapa, nak?” lelaki itu tersenyum, Tangan kevin semakin erat memegang
tangan Saya .
“Sayaa… Saya
Haikal…,” Saya berusaha bangkit dari tidur tapi badan ini sangat berat,” Saya
ada dimana ini, Dok??.”
“Tenang, Haikal.
Tiduran dulu saja, jangan terburu-buru,” lelaki itu menghentikan usahaku, kini
Saya terbaring lagi, dia atur posisi kasur yang Saya pakai jadi sedikit lebih
berdiri sehingga terasa lebih nyaman. Saya periksa sekeliling, ruangan ini
seperti ratusan tahun tidak pernah dibersihkan entah rongsokan macam apa yang
berderet diatas meja di sebelah kanan Saya, mesin-mesin tua dengan lampu warna
hijau. Sementara disebelah kiri Saya pun tidak kalah berantakan, poster tumpang
tindih terpasang di tembok.
“Kamu sekarang
sedang ada di tempat yang aman, di Abensord,” lelaki itu tersenyum ramah,
“istirahatlah, mudah-mudahan besok Kamu baikan.” Dia berdiri dari duduknya,
“Ayo, Kevin. Masih banyak yang harus kita kerjakan.”
“Istirahatlah,
Haikal. Besok pagi Aku akan menengokmu lagi,” Kevin menyelundupkan sesuatu ke
tangan kanan Saya, kertas?, uang kah?. Dia merapikan selimut yang Saya gunakan,
“Tidurlah….”
Kevin mendatangi
Sang Dokter yang telah menunggunya di depan pintu, seseorang bertubuh besar
berdiri bersamanya. Sebuah lambang yang digambar dari cat semprot tampak jelas
disamping pintu, dua buah huruf S kembar dalam sebuah lingkaran. Tempat macam
apa ini sebenarnya?.
“Jadi bagaimana
keadaan temanku, Dok?.”
“Aku tidak bisa
memastikannya, Vin.”
“Ko bisa
gitu?!!”.
“Dengar Vin,
meskipun orang-orang di sini memanggilku Dokter, Aku sama sekali bukan lulusan
kedokteran… .”
“….“
“Kalau Kamu
ingin tau keadaan temanmu itu, Kamu harus membawanya ke Pusat Kota… Ke Capital…
Lalu nanti Kamu ikut dengan teman-temanku.. iya teman-temanku yang mati disana,
Kamu ikut mati bersama mereka.”
“….”
“Sekarang lebih
baik Kita lanjutkan pekerjaan kita dulu, biar nanti masalah temanmu itu Aku
yang urus, Okay?.”
“....” Kevin
hanya Dian tertunduk.
“Teman mu itu
beruntung…, dia bisa bertahan setelah koma selama 2 bulan.., itu kasus yang
langka… Aku tidak bis…,” Kevin dan Dokter beserta lelaki bertubuh besar itu
pergi meninggalkanku, pintu kamar dia tutup.
Saya tarik
selimut tebal untuk menutupi seluruh badan Saya, dingin. Saya keluarkan kertas
yang ada di genggaman, gulungan kertas itu Saya buka, tulisan tangan Kevin…
Di dunia ini kita berbeda…
***
Jam berapa ini?
Cahaya menusuk mata lagi-lagi membuat Saya terbangun, Hari sudah siang rupanya.
Seluruh ruangan kosong tanpa seorang pun disana kecuali Saya, aroma karat dan
busuk kembali tercium. Saya coba gerakan lagi badan ini, sekarang terasa lebih
ringan, Saya sudah sehat. Saya buka selimut tebal yang menghangatkan tubuh ini
tadi malam, kaki Saya melangkah diantara potongan-potongan bagian mesin-mesin
aneh dan kabel warna-warni yang asing di ingatan. Saya pun tersadar, piyama
siapa yang sedang Saya pakai?. Saya tarik tuas pintu, udara berhembus menyapa
kulit, hangat. Disini Saya berdiri di atas lautan sampah, tempat apa ini?.
“Kau sudah
bangun yaa, Kal!” Kevin berteriak dari sebuah kendaran besar sepertinya sebuah
truk pengangkut sampah, tingginya sekitar 3 meter dengan 8 pasang ban besar
berhenti beberapa puluh meter dihadapan Saya. Sejak kapan dia bisa mengendarai
mobil?.
“Sudah mendingan
yaa,” suaranya serak, Dia membuka pintunya lalu turun melalui tangga besi yang
ada di samping kendaraan itu, kemudian berlari ke arah Saya, dia mengenakan
pakaian montir berwarna kuning pudar belepotan penuh kotoran. Kepala Saya
berisi begitu banyak kebingungan, Saya hanya bisa diam.
“Kamu tidak akan
percaya… Kamu tidak akan percaya…,” Kevin tersenyum kecil, tangannya
menepuk-nepuk pundak Saya, dia terengah-engah.
“Percaya apa?”
Brrrrrmmmmm….
“Hoiiii, Kevin
!!!,” seseorang berteriak di kejauhan,”Abensord sudah menunggu!!” Lelaki itu
menaiki sebuah kendaraan seperti pickup bermahkotakan
6 lampu besar di bagian atasnya, 2 bilah besi melingkar mengelilingi kendaraan
itu.
“Boleh ajak
temanku tidak??!!” kevin balik berteriak, lelaki itu seperti berdiskusi dengan
temannya yang berada di kursi kemudi.
“Okay boleh!!,
tapi suruh dia ganti baju!!, nanti dikira orang gila!! Hahahaha,” sial dia
membicarakan Saya.
“Okay!! Tunggu,”
Kevin tersenyum, entah apa yang membuat dia begitu bahagia,”Ayo ikut aku, Kal,”
dia berlari ke arah belakang rumah kecil yang Saya gunakan beristirahat tadi
malam, dia membuka sebuah pintu yang ada disana, puluhan potongan besi
rongsokan tergantung di tembok, orang-oramg itu sepertinya sengaja mengumpulkan
rongsokan.
“Kamu pakai ini
aja, Kal,” kevin membuka koper coklat penuh debu.
“Kamu yakin,
Vin??” pakaian itu seperti tidak layak pakai.
“Sudahlah,
jangan mengeluh… ini keren ko!” Kevin mengibaskan jaket kulit yang ada di dalam
koper, debu beterbangan, “Ayo cepat! Aku tunggu dibawah,” dia berlalu
meninggalkan Saya.
Pakaian macam
apa ini, tapi Saya tidak punya pilihan. Kaos kedodoran warna hitam, celana
pendek abu-abu, lalu celana jeans panjang yang dipenuhi pernak-pernik besi
disekelilingnya, gila! Pakaian macam apa ini. Sepasang sarung tangan coklat dan
sepasang sepatu kulit coklat tua semuanya pas dengan ukuran Saya, sepertinya kevin
sedah merencanakan semuanya. Dan tentu saja tak lupa jaket kulit hitam penuh
debu tadi, bau tanah dimana-mana, mual. Saya tidak punya pilihan lain selain
kenalan pakaian ini, lalu segera menemukan Kevin.
“Nah kan, keren… Hayu cepet, Kal!!,” Kevin
sudah berada di atas kendaraan pickup itu, Saya berlari menuruni tumpukan
sampah lalu memanjat kendaran itu kemudian duduk di bak belakang bersama Kevin.
Hari ini badan Saya terasa ringan, Kevin tersenyum, mencurigakan.
“Pakai ini,”
Kevin memberikan sebuah tali pada Saya,”ikat di tanganmu,”Aku hanya bisa
menuruti perkataanya,”Nanti kau akan tau apa fungsi benda itu,” Kevin terseyum
lagi,”Oiya, pakai jubah ini, tutupi badanmu.”
Angin bertiup
kencang menerbangkan debu yang menyatu dengan bau busuk dan karat pekat,
puluhan benda terbang berkeliaran dengan tali panjang seperti tangan
mengais-ngais keberuntungan di tumpukan rongsokan besi sejauh mata memandang.
Abensord, tempat macam apa sebenarnya, Saya harus bertanya kepada Kevin.
“Distric-25…
Hanya rongsokan yang tampak di tempat ini, tapi nanti kau akan melihat sisi
lain dari Abensord… Tunggu saja, Haikal!,” Kevin seperti bisa membaca pikiran,
aneh.
“Sebenarnya kita
mau kemana, Vin?” jalan rusak berbatu yang dilalui kendaraan ini membuat badan
Saya bergoyang.
“Distric-24,
nanti kau akan lihat keajaiban, Kal!” mata Kevin berbinar-binar,”semakin kau
berjalan ke pusat Abensord maka semakin banyak keajaiban yang akan kau lihat,”
Kevin bersemangat,”Distric Zero, Aku janji kita akan kesana, Kal.”
“Rumah… rumah
Saya dimana, Vin?... Saya ingin pulang!!,” tiba-tiba saja Saya teringat Ibu dan
Melisa. Kevin terdiam, dan menutupi wajahnya dengan kerudung dari jubah yang
digunakannya.
“Pakai sabuk
pengamanmu, Kal” Kevin menarik tali dari sisi bak, lalu mengikatkan empat buah
sabuk ke badannya, Saya mengikutinya. Kevin tampak lesu, harusnya Saya tidak
menanyakan rumah.
Mobil melaju
kencang, di sebelah Barat Saya melihat deretan tembok membentang membelah
daratan hingga jauh ke ujung Utara, awan hitam bergerombol perlahan menutupi
langit, kilatan petir berkejaran menghadapinya angkasa. Apa yang akan terjadi
di depan sana?.
Lampu redup, kamar sempit
Bandung, 14 Mei 2016